Jumat, 13 Oktober 2023

Solusi Permasalahan Kontrak PBJ Akibat Pemangkasan / Penghematan Belanja Dalam APBD



A. PENDAHULUAN

Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah  sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya ditulis Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21) dalam pasal 1 ayat (44) menyatakan bahwa "Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia atau pelaksana Swakelola". Dalam kontrak diatur hak dan kewajiban para pihak yang berkontrak seperti objek pekerjaan yang harus dilakukan Penyedia, durasi waktu pelaksanaan pekerjaan, sumber daya penyedia yang harus disediakan dalam melaksanakan pekerjaan, nilai pekerjaan, sanksi, serta sumber dana pembiayaan kontrak. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah (selanjutnya disingkat PBJP), pelaksanaan kontrak sering terjadi permasalahan akibat dari berbagai macam faktor. Misalnya, barang yang mau diadakan sudah diskontinu sehingga harus mengganti dengan barang yang setara untuk memenuhi kebutuhan, kondisi lapangan yang berbeda dengan perencanaan konstruksi, Penyedia yang melakukan sub kontrak tanpa sepengetahuan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), maupun adanya pemangkasan anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) / Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang mengakibatkan sumber dana pembiayaan kontrak mengalami perubahan. Faktor – faktor tersebut seringkali membuat PPK harus bekerja keras membuat keputusan yang tepat tentang tindak lanjut dari kontrak yang sedang dilaksanakan sehingga tidak menimbulkan sengketa kontrak dan/atau permasalahan hukum. Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan secara garis besar tentang solusi atas permasalahan kontrak tahun tunggal yang diakibatkan dari faktor pemangkasan anggaran khususnya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).


B. PEMBAHASAN

Sekilas Tentang APBD
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (selanjutnya ditulis PP 12/19) pada pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa “APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan Perda”. APBD disusun oleh Kepala Daerah, dibantu oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah. TAPD terdiri atas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat lain sesuai dengan kebutuhan. Tugas TAPD antara lain:
  1. Membahas kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah
  2. Menyusun dan membahas rancangan KUA dan rencana perubahan KUA
  3. Menyusun dan membahas rancangan PPAS dan rencana perubahan PPAS
  4. Melakukan verifikasi RKA SKPD
  5. Membahas rancangan APBD, rancangan perubahan APBD, dan rancangan pertanggungjawaban APBD
  6. Membahas hasil evaluasi APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban APBD
  7. Melakukan verifikasi rancangan DPA SKPD dan rancangan perubahan DPA SKPD
  8. Menyiapkan surat edaran Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan RKA
  9. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Fungsi APBD menurut PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah antara lain:
1. Otorisasi
    APBD menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja di tahun berkenaan

2. Perencanaan
    APBD menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun berkenaan

3. Pengawasan
  APBD menjadi pedoman untuk menilai kesesuaian antara kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4.  Alokasi
   APBD diarahkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan agar dapat mengurangu pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

5.    Distribusi
Kebijakan APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

6.     Stabilisasi
APBD menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

APBD bertujuan untuk mengatur penerimaan dan pengeluaran yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah selama satu tahun anggaran yang memiliki struktur berikut:
1. Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran berkenaan.Pendapatan Daerah terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Daerah meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang sah.
b. Pendapatan transfer meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alikasi khusus fisik dan non fisik, dana insentif daerah, dana desa.
c.  Lain-lain Pendapatan yang sah terdiri atas pendapatan hibah, bantuan keuangan dan pendapatan lainnya yang sah menurut peraturan perundang-undangan

2. Belanja Daerah adalah semua kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode waktu berkenaan
Belanja daerah terdiri dari :
a. Belanja Operasi meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah dan belanja bantuan sosial.
b. Belanja Modal meliputi belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan serta aset tetap lainnya.
c. Belanja Tidak Terduga
d. Belanja Transfer meliputi belanja bagi hasil dan belanja bantuan keuangan.

3. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun berkenaan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan daerah terdiri dari:
a. Penerimaan pembiayaan meliputi SiLPA, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah dan penerimaan pembiayaan lainnya.
b. Pengeluaran pembiayaan daerah meliputi pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo, penyertaan modal daerah, pembentukan dana cadangan, pemberian pinjaman daerah dan pengeluaran pembiayaan lainnya.

Secara umum, dalam melaksanakan belanja daerah pada APBD sebagian besar diaplikasikan melalui proses PBJP, sehingga dalam penyusunan APBD idealnya memperhatikan kebijakan pengadaan, tujuan pengadaan dan etika pengadaan sebagaimana yang diatur dalam Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21 beserta aturan turunannya. Dalam praktiknya, kontrak PBJP bersumber dana dari APBD pada struktur belanja daerah (operasi, modal dan belanja tidak terduga).  Memang APBD adalah merupakan rencana, sehingga perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun ikhtiar yang dilakukan saat perencanaan APBD seyogyanya perlu dilakukan agar perubahan tidak terlalu signifikan. Kecuali perubahan APBD akibat dari keadaan daruratl, misalnya yang terjadi pada tahun 2020 yakni bencana non alam wabah COVID-19. Pada saat itu pemerintah pusat menginstruksikan agar Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah melakukan refocusing dan realokasi anggaran untuk mendukung penanganan wabah COVID-19. Namun apabila perubahan APBD akibat pendapatan tidak tercapai sesuai target, maka hal itu merupakan indikasi kekeliruan dalam melakukan formulasi potensi pendapatan daerah di saat penyusunan APBD.

Sekilas Tentang Kontrak PBJP
Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang ditentukan dalam kontrak. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, kontrak akan sah jika memenuhi beberapa syarat di bawah ini:
  • Kecakapan para pihak;
  • Kesepakatan antara para pihak;
  • Adanya suatu hal atau objek tertentu;
  • Suatu sebab yang halal (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban umum);
Bagaimana jika kontrak tidak memenuhi 4 (empat) syarat tersebut?. Keempat syarat tersebut dibagi atas 2 (dua) yaitu :
- Syarat Subjektif
Kecakapan para pihak dan kesepakatan para pihak termasuk syarat subjektif karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian

- Syarat Objektif
Adanya suatu hal atau objek tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian

Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut “DAPAT DIBATALKAN”. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah “BATAL DEMI HUKUM”. Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Bahwa dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan yaitu dilihat adanya unsur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dua unsur yang menyangkut  unsur subjektif dan dua unsur yang menyangkut unsur objektif dan pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Berkenaan dengan hukum kontrak, norma hukum kontrak merupakan norma yang sifatnya mengatur (regelend recht atau aanvullend recht) domain hukum perdata, oleh karenanya dalam hukum perdata berlaku lima prinsip atau asas, yaitu:
  • Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
  • Asas konsensualisme (concsensualism)
  • Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)
  • Asas itikad baik (good faith)
  • Asas kepribadian (personality)

Kontrak dalam PBJP secara teknis diatur melalui Perpres 16/18 Jo. 12/21 dan aturan turunannya. Berikut tabel menjelaskan tentang bentuk dan jenis kontrak PBJP

Tabel 1. Bentuk Kontrak


























Tabel 2. Jenis Kontrak

PPK dalam memilih bentuk dan jenis kontrak perlu memperhatikan karakteristik pengadaan barang/jasa yang akan dilakukan dengan bentuk dan jenis kontrak sebagaimana tabel 1 dan tabel 2. Kesalahan memilih jenis kontrak akan berdampak terjadinya sengketa kontrak maupun menghadapi resiko hukum. Untuk itu, perlu ada peningkatan kompetensi PPK sebagai upaya dalam mewujudkan pelaksanaan kontrak yang akuntabel. Selain itu, pengendalian kontak oleh PPK merupakan hal yang paling penting dalam rangka memastikan tercapainya tujuan berkontrak. Mengutip pernyataan seorang praktisi pengadaan, Bapak  Mudjisantosa yang menyatakan bahwa apabila terjadi permasalahan kontrak maka lakukan “2L”, yaitu logis dan legal.

Solusi Permasalahan Kontrak Akibat Pemangkasan APBD
Dalam kontrak sudah diatur sumber dana pembiayaan atas pelaksanaan pekerjaan yang dikontrakan. Misalnya bersumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bagaimana apabila ada kebijakan daerah untuk melakukan pemangkasan atau penghematan belanja dalam APBD akibat dari realisasi pendapatan yang tidak tercapai, yang pada akhirnya "dipaksa" untuk merubah atau bahkan memutuskan kontrak?. Jika ada kebijakan daerah yang mengakibatkan adanya penghematan dalam APBD, maka akan berdampak pada pelaksanaan kontrak. Dampaknya yang paling dominan adalah terjadinya penurunan nilai kontrak dan/atau anggaran dihapus secara penuh. Karena kontrak adalah merupakan perjanjian, muncul pertanyaan kemudian adalah “apakah perjanjian dapat dirubah?”. Pada Perpres 16/2018 beserta perubahan dan aturan turunannya memberikan ruang untuk kontrak dapat dilakukan perubahan. Sebagaimana dalam pasal 54 ayat 1 menyatakan :

Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis/KAK yang ditentukan dalam dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia dapat melakukan perubahan kontrak, yang meliputi:
  1. menambah atau mengurangi volume yang tercantum dalam Kontrak;
  2. menambah dan/atau mengurangi jenis kegiatan;
  3. mengubah spesifikasi teknis sesuai dengan kondisi lapangan; dan/atau
  4. mengubah jadwal pelaksanaan;”

Jika kita mengacu secara redaksional pasal 54 ayat 1 diatas, perubahan kontrak dilakukan apabila ada perbedaan kondisi lapangan dengan gambar dan/ataupun spesifikasi teknis/KAK yang direncanakan. Yang dimaksudkan dengan kondisi lapangan adalah yang berhubungan dengan objek dari pengadaan barang/jasa tersebut. Misalnya pada pengadaan Laptop ternyata setelah berkontrak, laptop dengan jenis tersebut sudah dinyatakan diskontinu oleh pabrikan sehingga perlu ada perubahan kontrak khususnya pada jenis laptop digantikan laptop yang setara. Muncul pertanyaan kemudian adalah “apakah pemangkasan anggaran pada APBD termasuk kondisi lapangan sesuai redaksional pasal tersebut?”. Jika menakar secara redaksional, pasal 54 mengatur perubahan pada sisi teknis pelaksanaan kontrak. Sedangkan APBD yang merupakan sumber pembiayaan kontrak adalah merupakan kebijakan pemerintah yang diatur melalui rumpun aturan pengelolaan keuangan. Sehingga jika dikaitkan secara regulatif PBJP, pemangkasan anggaran pada APBD adalah merupakan keadaan kahar, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat pasal (52) Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21 yang menyatakan bahwa “keadaan kahar adalah suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak dalam Kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam Kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi”. 
Berangkat dari definisi keadaan kahar tersebut, maka pemangkasan APBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan keadaan yang tidak dapat diperkirakan oleh pihak yang berkontrak (PPK dan Penyedia).
Dalam pasal 55 Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21 mengatur teknis dalam keadaan kahar sebagai berikut :
  1. Dalam hal terjadi keadaan kahar, pelaksanaan Kontrak dapat dihentikan.
  2. Dalam hal pelaksanaan Kontrak dilanjutkan, para pihak dapat melakukan perubahan kontrak.
  3. Perpanjangan waktu untuk penyelesaian Kontrak disebabkan keadaan kahar dapat melewati Tahun Anggaran.
  4. Tindak lanjut setelah terjadinya keadaan kahar diatur dalam Kontrak.

Untuk itu, dalam menyikapi pemangkasan ataupun penghematan belanja dalam APBD maka yang paling utama adalah Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah yang merupakan Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) memberikan informasi resmi kepada para Pengguna Anggaran agar mengantisipasi dampak pemangkasan APBD terhadap kontrak yang sedang berjalan. Adapun beberapa alternatif solusi yang dapat dipilih sebagai berikut :

1. Penangguhan Pembayaran (Bayar Hutang)
Alternatif penangguhan pembayaran dilakukan sebagai berikut : 
  • Penyedia Barang/Jasa tetap menyelesaikan seluruh pekerjaan pada tahun anggaran berjalan
  • Pekerjaan diserahterimakan 100% (PHO) di tahun anggaran berjalan
  • Dapat dilakukan kontrak sampai anggaran berjalan
  • Sebagian/seluruh pembayaran dibayar pada tahun anggaran berikutnya
  • Pembayaran hutang tersebut wajib diaudit oleh Inspektorat atau BPKP
Alternatif penangguhan pembayaran ini dipilih dengan catatan bahwa ada jaminan ketersediaan anggaran pada APBD di tahun anggaran berikut.

2. Perpanjangan Waktu Kontrak (extension)
Alternatif perpanjangan waktu kontrak ini dilakukan sebagai berikut :
  • Perpanjangan waktu kontrak melampaui tahun anggaran berjalan.
  • Pembayaran seluruh/sebagian, dilakukan di tahun anggaran berikutnya.
  • Pekerjaan diserahterimakan 100% (PHO) di tahun anggaran berikutnya.
  • Pembayaran pada tahun anggaran berikutnya tidak diperlukan Audit.
Alternatif penangguhan pembayaran ini dipilih dengan catatan bahwa ada jaminan ketersediaan anggaran pada APBD di tahun anggaran berikut.

3. Penghentian Sementara
Alternatif penghentian sementara (postponed) ini dilakukan sebagai berikut :
  • Pekerjaannya dihentikan di tahun anggaran berjalan (pada saat pemotongan), dilanjutkan setelah anggarannya tersedia di tahun anggaran berikutnya;
  • Addendum penghentian sementara dan perpanjangan waktu kontrak sampai dengan di tahun anggaran berikutnya;
  • Pembayaran prestasi pekerjaan yang ditunda dilakukan di tahun anggaran berikutnya
Alternatif penghentian sementar ini dipilih dengan catatan bahwa ada jaminan ketersediaan anggaran pada APBD di tahun anggaran berikut.

4. Optimalisasi
Dilakukan optimalisasi penyesuaian ruang lingkup pekerjaan berdasarkan maksimal ketersediaan anggaran. Alternatif ini tidak dapat diterapkan untuk kontrak lumsum atau porsi kontrak lumsum untuk kontrak gabungan lumsum dan harga satuan. Hanya untuk kontrak harga satuan atau porsi kontrak harga satuan apabila menggunakan kontrak gabungan lumsum dan harga satuan.

5. Penghentian Kontrak Permanen
  • Apabila 4 (empat) alternative solusi di atas tidak disepakati, maka kontrak dihentikan/diputus dan Penyedia Barang/Jasa tidak dikenakan sanksi.
  • Pembayaran prestasi pekerjaan agar dilakukan audit oleh Inspektorat atau BPKP
Alternatif – alternatif tersebut memiliki karakteristik masing-masing sehingga dalam memilih alternatif tersebut sangat diperlukan dokumen yang aktual sebagai justifikasi teknis. PPK dan Penyedia sebagai pihak yang berkontrak perlu memperhatikan hak dan kewajibannya sehingga dalam mengambil keputusan terkait kontrak yang sedang dilaksanakan akan menghasilkan keputusan yang tepat. Memang pengambilan keputusan apabila adanya penghematan tidak sesederhana itu, sehingga tidak sedikit PPK yang ragu dalam melakukan keputusan. Hal ini dimaklumi, karena ketakutan PPK terjadinya dampak hukum baginya. Selain itu, Penyedia yang orientasinya pada keuntungan terkadang menambah keruwetan dalam menyikapi perubahan kontrak akibat penghematan APBD. Sebagai ilustrasi, CV. REZEKI sebagai Penyedia kualifikasi kecil sedang melaksanakan pekerjaan pembangunan gedung sekolah. Setelah menandatangani kontrak, CV. REZEKI melakukan permohonan kredit pinjaman pada Bank sebagai modal untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Tentunya, CV. REZEKI sudah memperhitungkan pinjaman tersebut dengan nilai kontrak. Bagaimana jika terjadi pemangkasan APBD dan kemudian pilihannya adalah penangguhan pembayaran?. Dan pembayaran hutang akan dilakukan pada tahun anggaran berikut. Hal ini akan berdampak pada distorsi cash flow CV. REZEKI yang berpotensi terjadi denda dari Bank akibat dari keterlambatan cicilan pinjaman pada bank. Dari ilustrasi tersebut, sudah dapat dibayangkan bahwa efek domino dari pemangkasan belanja APBD  secara negatif berpotensi berdampak bagi Penyedia yang sedang melaksanakan kontrak. Sehingga perlu upaya dan pertimbangan berbagai aspek dalam memilih alternatif solusi untuk menghindari terciptanya permasalahan kontrak.

C. KESIMPULAN
Dari penjabaran sederhana terkait solusi permasalahan kontrak akibat pemangkasan APBD, beberapa kesimpulan penulis sebagai berikut :
  1. Untuk menghindari potensi terjadinya permasalahan kontrak akibat pemangkasan APBD, maka perlu adanya peningkatan kualitas penyusunan rencana APBD. Permasalahan klasik yang sering terjadi adalah tidak tercapainya target pendapatan sehingga mengakibatkan penghematan belanja daerah. Hal ini patut menjadi perhatian bagi Pemerintah Daerah agar strategi dan formulasi dalam menyusun perencanaan APBD memperhatikan berbagai aspek termasuk pendekatan metodologi dalam forecasting pendapatan daerah.
  2. Apabila terjadi pemangkasan APBD, maka beberapa solusi/alternatif terhadap kontrak yang sedang berjalan adalah penangguhan pembayaran, perpanjangan waktu kontrak, penghentian sementara, optimalisasi, atau penghentian kontrak permanen. Alternatif – alternatif solusi tersebut dipilih berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkontrak (PPK dan Penyedia) dengan mengidentifikasi kemajuan pekerjaan yang sedang dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip – prinsip pengadaan dan tujuan pengadaan. Hasil kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam perubahan kontrak.
  3. Kolaborasi UKPBJ, APIP dan OPD perlu digiatkan sebagai upaya mitigasi terciptanya permasalahan kontrak.
Demikian tulisan sederhana, ini hanya merupakan pendapat pribadi sebagai sumbangsih pikiran dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah

Label: , ,

Senin, 08 Februari 2021

Tugas Pejabat Pengadaan Dalam Pengadaan Langsung Pekerjaan Konstruksi (Badan Usaha)

Salah satu hal baru dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2020 (PMPUPR 14/2020) adalah pengaturan terkait pengadaan langsung. Pada PMPUPR 07/2019 yang lalu belum mengatur terkait pengadaan langsung terhadap pekerjaan konstruksi sehingga hadirnya PMPUPR 14/2020 diharapkan menunjang kinerja dalam proses pengadaan langsung.

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui apa itu Pengadaan Langsung?. Definisi Pengadaan Langsung sebagaimana diamanatkan dalam Perpres 16/2018 pada pasal 1 ayat (40) menyatakan bahwa "Pengadaan Langsung Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)". Pengadaan langsung merupakan salah satu metode pemilihan yang kadangkala dianggap sepele oleh beberapa pihak karena paket pekerjaannya memiliki anggaran yang relatif kecil. Padahal merupakan hal yang sangat keliru jika melihat proses pengadaan barang/jasa pemerintah hanya dalam perspektif besaran pagu anggaran. Sekecil atau sebesar apapun anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah untuk pengadaan, seyogyanya dilakukan pembelanjaan sesuai kebutuhan dan tepat sasaran serta selalu memperhatikan konsep Value for Money.

Pada tulisan kali ini, saya akan membahas secara singkat tentang pengadaan langsung khususnya untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh Pejabat Pengadaan berdasarkan PMPUPR 14/2020.

Dalam Perpres 16/2018 pada pasal 12 menyatakan bahwa "Pejabat Pengadaan dalam Pengadaan Barang/Jasa memiliki tugas :
  • melaksanakan persiapan dan pelaksanaan Pengadaan Langsung;
  • melaksanakan persiapan dan pelaksanaan Penunjukan Langsung untuk pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
  • melaksanakan persiapan dan pelaksanaan Penunjukan Langsung untuk pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
  • melaksanakan E-purchasing yang bernilai paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)"

Tugas Pejabat Pengadaan dalam Perpres 16/2018 diadopsi juga dalam PMPUPR 14/2020 pada pasal 8 yang menyatakan bahwa "Pejabat Pengadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d memiliki tugas dan kewenangan melaksanakan persiapan dan pelaksanaan Pengadaan Langsung".

Berikut akan dijelaskan secara umum terkait 2 (dua) tugas dan kewenangan Pejabat Pengadaan  (PP) dalam pengadaan langsung pekerjaan konstruksi, yakni:

  1. Tugas dan kewenangan PP pada tahapan persiapan pengadaan langsung;
  2. Tugas dan kewenangan PP pada tahapan pelaksanaan pengadaan langsung;



I. Tahapan Persiapan


Yang dimaksud dengan dengan tahapan persiapan adalah persiapan pemilihan penyedia. Dalam PMPUPR 14/2020 pasal 38 menyatakan bahwa "Pejabat Pengadaan melakukan persiapan pemilihan Penyedia melalui Pengadaan Langsung yang meliputi :

  1. Reviu dokumen persiapan pengadaan;
  2. Penetapan persyaratan penyedia;
  3. Penetapan jadwal pemilihan;
  4. Penetapan Dokumen Pemilihan Pengadaan Langsung;"


Reviu Dokumen Persiapan Pengadaan

Setelah PPK menyerahkan dokumen persiapan pengadaan Pekerjaan Konstruksi kepada PP, yang terdiri dari:
  1. spesifikasi teknis dan detailed engineering design;
  2. HPS;
  3. Rancangan Kontrak;
PP kemudian melakukan reviu dokumen persiapan pengadaan tersebut, dengan mempedomani PMPUPR 14/2020 pasal 40 yang menyatakan bahwa "Reviu dokumen persiapan pengadaan meliputi :
  1. KAK untuk pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi;
  2. spesifikasi teknis dan detailed engineering design untuk pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi;
  3. HPS;
  4. Rancangan Kontrak;
  5. Dokumen anggaran belanja;
  6. ID Paket RUP;
  7. waktu penggunaan barang/jasa;
  8. analisis pasar;
  9. uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan risiko Pekerjaan Konstruksi terkait Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi;"
Dalam PMPUPR 14/2020 tidak menjelaskan detail reviu dokumen persiapan pengadaan oleh PP. Namun dapat kita mengacu pada Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, yang didalamnya mengatur terkait dengan reviu dokumen persiapan pengadaan secara umum.


Penetapan Persyaratan Penyedia
Untuk persyaratan penyedia, terdiri dari 2 (dua) yaitu persyaratan teknis dan persyaratan kualifikasi. Dalam PMPUPR 14/2020, untuk persyaratan teknis terdiri dari peralatan dan personil yang harus disediakan oleh penyedia sebagaimana spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh PPK. Yang perlu diingat bahwa, syarat peralatan dan personil dalam pengadaan langsung pekerjaan konstruksi ini dikecualikan untuk pengadaan langsung pekerjaan konstruksi dengan nilai HPS paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau dengan nilai HPS paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk Pekerjaan Konstruksi yang dipergunakan untuk percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Sedangkan untuk persyaratan kualifikasi disesuaikan berdasarkan Standar Dokumen yang diatur dalam PMPUPR 14/2020.


Penetapan Jadwal Pemilihan
Jadwal pemilihan tidak diatur secara baku dalam PMPUPR 14/2020, sehingga pejabat pengadaan dapat menyusun jadwal pemilihan sesuai kebutuhan berdasarkan rencana waktu pemanfaatan pekerjaan yang direncanakan oleh PPK. Tahapan jadwal pemilihan sebagai berikut :
  1. Undangan
  2. Penyampaian dokumen penawaran dan data kualifikasi
  3. Pembukaan dokumen penawaran dan data kualifikasi
  4. Evaluasi dokumen penawaran dan data kualifikasi
  5. Pembuktian kualifikasi
  6. Klarifikasi teknis dan negosiasi biaya/harga
  7. Laporan PP kepada PPK

Penetapan Dokumen Pemilihan Pengadaan Langsung
Setelah reviu DPP, penetapan persyaratan penyedia dan penetapan jadwal pemilihan, PP kemudian menyusun Dokumen Pemilihan Pengadaan Langsung sesuai PMPUPR 14/2020. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada bagian LDP dan LDK, disesuaikan dengan hasil reviu DPP. Dalam PMPUPR 14/2020 sudah menetapkan beberapa hal dalam dokumen pemilihan pengadaan langsung yaitu :
  1. Metode kualifikasi yang digunakan adalah pascakualifikasi
  2. Metode evaluasi kualifikasi yang digunakan adalah sistem gugur
  3. Metode evaluasi penawaran yang digunakan adalah sistem gugur
  4. Metode penyampaian penawaran yang digunakan adalah satu sampul/file

2. Pelaksanaan Pengadaan Langsung

Tahapan pelaksanaan pengadaan langsung dimulai dari pengumuman pengadaan langsung sampai dengan penyampaian berita acara hasil pemilihan langsung dari PP kepada PPK.

Dalam pasal 61 PMPUPR 14/2020 menyatakan bahwa :
"Proses pelaksanaan Pengadaan Langsung Jasa Konstruksi melalui Penyedia dilakukan melalui:
a. sistem pengadaan langsung secara elektronik; atau
b. secara manual dan dicatatkan dalam sistem pengadaan secara elektronik"

Pasal 61 tersebut memberikan opsi bagi PP untuk melakukan proses pengadaan langsung. Saran saya, agar memilih opsi menggunakan sistem pengadaan langsung secara elektronik, karena sebagian besar SPSE sudah memiliki fitur e-pengadaan langsung. 

Tahapan proses pelaksanaan pengadaan langsung pekerjaan konstruksi :
  1. Pejabat Pengadaan mengundang 1 (satu) Pelaku Usaha yang diyakini mampu untuk melaksanakan pekerjaan sebagai calon Penyedia;
  2. calon Penyedia yang diundang menyampaikan penawaran administrasi, teknis, biaya/harga, dan kualifikasi sesuai jadwal yang telah ditentukan dalam undangan;
  3. Pejabat Pengadaan membuka penawaran dan melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan kualifikasi;
  4. Pejabat Pengadaan melakukan pembuktian kualifikasi apabila calon Penyedia memenuhi persyaratan administrasi, teknis, dan kualifikasi;
  5. Pejabat Pengadaan melakukan klarifikasi teknis dan negosiasi biaya/harga berdasarkan nilai total HPS dan/atau informasi lain;
  6. Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi atau pembuktian kualifikasi, calon Penyedia tidak memenuhi persyaratan, atau negosiasi biaya/harga tidak menghasilkan kesepakatan maka Pengadaan Langsung dinyatakan gagal; dan
  7. Pejabat Pengadaan melaporkan hasil Pengadaan Langsung kepada PPK;
Dalam proses pelaksanaan pengadaan langsung, yang sering diperdebatkan adalah apakah hanya mengundang 1 (satu) penyedia saja? Bukankah hal itu menghilangkan persaingan yang sehat? Dinamika itu semakin meluas. Pertanyaan-pertanyaan kemudian terlahir atas proses pengadaan langsung ini. Misalnya, apakah PPK dalam menyampaikan dokumen persiapan pengadaan sudah menentukan calon penyedia? Ataukah Pejabat Pengadaan yang memiliki tugas memilih penyedia yang akan diundang?. Sehingga menurut saya bahwa titik kritis terbesar dalam proses pelaksanaan pengadaan langsung adalah tentang bagaimana variabel yang menentukan pejabat pengadaan dalam mengundang pelaku usaha yang dianggap mampu. Beberapa upaya yang mungkin dapat dijadikan referensi terhadap hal tersebut, menurut saya sebagai berikut :
  1. Prinsip utamanya adalah bahwa pelaku usaha yang diundang adalah merupakan usaha klasifikasi kecil yang dapat berbentuk usaha perorangan atau badan usaha. Untuk menentukan apakah yang diundang itu adalah usaha perorangan atau badan usaha, maka perlu mempertimbangkan karakteristik dan ruang lingkup pekerjaan.
  2. PPK bukan pelaku pengadaan yang mengundang pelaku usaha. Pejabat pengadaanlah yang merupakan pelaku pengadaan yang diberikan otoritas untuk mengundang pelaku usaha, dengan mempertimbangkan kebutuhan pekerjaan yang diinginkan oleh PPK serta aspek regulatif.
  3. Dari sisi regulasi, sudah jelas bahwa Pejabat Pengadaan mengundang 1 (satu) pelaku usaha. Hal ini secara tegas mengamanatkan bahwa tidak ada persaingan secara langsung dalam proses pengadaan langsung ini. Untuk itu, tidak ada pengaturan secara regulatif menjelaskan variabel pelaku usaha yang mampu. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan itu dapat dilihat dari kemampuan sumber daya pelaku usaha. Informasi tentang kinerja pelaku usaha dapat dilihat salah satunya melalui database pelaku usaha berbasis aplikasi yang dibangun oleh LKPP yakni Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKAP).
  4. Untuk menghindari monopoli (pemenang pengadaan langsung cenderung hanya 1 - 2 pelaku usaha) maka perlu dilihat sisa kemampuan paket (SKP) dalam evaluasi kualifikasi.

Untuk memudahkan membuat administrasi dalam tahapan pelaksanaan pengadaan langsung, silahkan download beberapa template dalam 2 (dua) tahapan  pengadaan langsung sebagai berikut : 

Template tersebut saya kembangkan dari berbagai sumber yang didapatkan ketika mengikuti pelatihan pengadaan langsung. Silahkan disesuaikan berdasarkan kebutuhan atau diperbaiki apabila ada kekeliruan.


Demikian tulisan singkat ini, Insha Allah menjadi khasanah pemahaman bagi pejabat pengadaan dalam melaksanakan proses pengadaan langsung pekerjaan konstruksi.


Label: , , , ,

Jumat, 29 Januari 2021

Kegiatan Tahun Jamak : Dalam Perspektif Keuangan Daerah dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah



A. Gambaran Umum Kegiatan Tahun Jamak

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada pasal 1 ayat 28 menyatakan bahwa "Kegiatan Tahun Jamak adalah kegiatan yang dianggarkan dan dilaksanakan untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang pekerjaannya dilakukan melalui kontrak tahun jamak".

Dari definisi tersebut ada beberapa keyword yang perlu dipahami :

  1. Kegiatan adalah bagian dari Program yang dilaksanakan oleh 1 (satu) atau beberapa satuan kerja perangkat daerah sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu Program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil atau sumber daya manusia, barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut, sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran dalam bentuk barang/jasa (PP 12/2019 pasal 1 ayat 27);
  2. Program yang terdapat dalam definisi kegiatan pada point 1 diatas, dijelaskan dalam PP 12/2019 pasal 1 ayat 26 yang menyatakan bahwa "Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi 1 (satu) atau lebih Kegiatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah atau masyarakat yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan Daerah";
  3. Dianggarkan adalah pengalokasian anggaran dalam APBD;
  4. Dilaksanakan adalah proses pelaksanaan kegiatan;
  5. Pekerjaan adalah cara dalam melaksanakan pekerjaan
  6. Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (UU 17/2003 pasal 4);
  7. Kontrak Tahun Jamak merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang membebani lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat berupa : pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan atau lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran; atau pekerjaan yang memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dan paling lama 3 (tiga) Tahun Anggaran (Perpres 16/2018 pasal 27 ayat 9);
Kegiatan tahun jamak seyogyanya dirancang untuk mengakomodir program dan kegiatan yang bersifat strategis dan/atau untuk kebutuhan urgensi daerah. Idealnya kegiatan tahun jamak juga harus memperhatikan kesesuaian antara kegiatan dengan acuan perencanaan yang telah ditetapkan baik Rencana Kerja Perangkat Daerah (RKPD), Rencana  Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD),  Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD), maupun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Oleh karena itu, dalam merencanakan kegiatan tahun jamak perlu adanya kajian yang komprehensif oleh Pemda dengan mempertimbangkan aspek prioritas kebutuhan daerah, estimasi terhadap kemampuan keuangan daerah serta teknis pelaksanaan kegiatan tahun jamak.
Secara garis besar, untuk membahas kegiatan tahun jamak ada 2 (dua) domain aturan yang patut menjadi pedoman. Pertama, domain regulasi tentang keuangan daerah  (termasuk perencanaan daerah) dan yang kedua adalah domain regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Kedua domain tersebut juga termasuk meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi serta pertanggungjawaban. Untuk itu, perlu adanya harmonisasi antara Pemda (unsur OPD/unit kerja teknis yang membidangi perencanaan daerah, keuangan daerah, pengadaan barang/jasa, hukum, APIP serta OPD pelaksana teknis) dan DPRD, yang dimulai dari memformulasikan strategi penganggaran hingga mewujudkan tujuan program/kegiatan dimaksud dengan tetap memperhatikan asas akuntabilitas.


B. Mekanisme Penganggaran Kegiatan Tahun Jamak (APBD)

Dalam APBD, mekanisme penganggaran kegiatan tahun jamak dapat mengacu pada PP 12/2019 sebagaimana diatur dalam pasal 92 sebagai berikut :




Dalam bagian lampirannya, PP 12/2019 menjelaskan pasal 92 sebagai berikut :
  • Pasal 92 ayat 2 huruf (a) :  Kegiatan Tahun Jamak mengacu pada Program yang tercantum dalam RPJMD
  • Pasal 92 ayat 2 huruf (b) : Yang dimaksud dengan "pekerjaan atas pelaksanaan Kegiatan yang menurut sifatnya harus tetap berlangsung pada pergantian tahun anggaran" antara lain penanaman benih/bibit, penghijauan, pelayanan perintis laut/udara, makanan dan obat di rumah sakit, pelayanan pembuangan sampah, dan pengadaan jasa pelayanan kebersihan (cleaning service).

Sampai dengan akhir bulan Januari 2021, masih belum ada aturan turunan dari PP 12/2019 secara khusus seperti Permendagri 13/2006 beserta perubahannya yang merupakan turunan dari PP 58/2005. Yang ada hanyalah Permendagri yang mengatur tentang pedoman penyusunan APBD, dan aturan ini setiap tahun terbit untuk menjembatani mekanisme penganggaran APBD. Misalnya di tahun 2019, terbitnya Permendagri 33/2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD T.A. 2020. Di tahun 2020, ada Permendagri 64/2020 tentang Pedoman Penyusunan APBD T.A. 2021. Jika kita membandingkan Permendagri 33/2019 dan Permendagri 64/2020, tidak ada perubahan secara signifikan terkait pengaturan kegiatan tahun jamak dalam 2 (dua) aturan tersebut. Sedikit letak perbedaannya, pada Permendagri 33/2019 tidak memberikan format nota kesepakatan tahun jamak. Sedangkan, pada Permendagri 64/2020 dalam bagian lampiran menyajikan format nota kesepakatan antara Pemprov dan DPRD, sebagaimana berikut ini :




Format nota kesepakatan telah mengakomodir Pasal 92 ayat 5, yakni mencantumkan nama kegiatan/sub kegiatan, jangka waktu pelaksanaan kegiatan, jumlah anggaran dan alokasi anggaran per tahun. Dalam format nota kesepakatan tersebut juga dalam pasal 9 memberikan ruang kepada Kepala Daerah untuk mengatur lebih teknis terkait kegiatan tahun jamak melalui Perkada. Mengapa Perkada perlu dibuat? Karena memang nota kesepakatan hanya mengatur secara umum, sehingga perlu regulasi yang lebih menjelaskan misalnya bagaimana mekanisme apabila anggaran tidak terpakai/tidak terealisasi pada tahun pertama? apa yang harus dilakukan menyikapi hal tersebut?. Oleh karena itu, patut untuk diatur lebih detail lagi agar tidak menciptakan zona blur dalam pengambilan keputusan pada saat menghadapi situasi atau kondisi yang terjadi diluar pengaturan dalam nota kesepakatan maupun dalam PP 12/2019.


C. Kontrak Tahun Jamak Dalam Perpres 16/2018 dan Aturan Turunannya

Sebagaimana definisi Kegiatan Tahun Jamak pada PP 12/2019 dalam pasal 1 ayat 28 menyatakan bahwa "Kegiatan Tahun Jamak adalah kegiatan yang dianggarkan dan dilaksanakan untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang pekerjaannya dilakukan melalui kontrak tahun jamak". Frasa Kontrak Tahun Jamak dalam definisi tersebut, dapat kita hubungkan dengan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah. Namun sebelum membahas lebih lanjut tentang kontrak tahun jamak, perlu kita ketahui dulu tentang apa itu kontrak?.

Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang ditentukan dalam kontrak. Dalam Pasal 1320 KUHPer, kontrak akan sah jika memenuhi beberapa syarat di bawah ini:
  1. Kecakapan para pihak;
  2. Kesepakatan antara para pihak;
  3. Adanya suatu hal atau objek tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban umum);
Bagaimana jika kontrak tidak memenuhi 4 (empat) syarat tersebut?. Keempat syarat tersebut dibagi atas 2 (dua) yaitu :
  1. Kecakapan para pihak dan kesepakatan para pihak termasuk syarat subjektif karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian
  2. Adanya suatu hal atau objek tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian
Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut “DAPAT DIBATALKAN”. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah “BATAL DEMI HUKUM”. Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Bahwa dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan yaitu dilihat adanya unsur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dua unsur yang menyangkut  unsur subjektif dan dua unsur yang menyangkut unsur objektif dan pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Berkenaan dengan hukum kontrak, norma hukum kontrak merupakan norma yang sifatnya mengatur (regelend recht atau aanvullend recht) domain hukum perdata, oleh karenanya dalam hukum perdata berlaku lima prinsip atau asas, yaitu:
  1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
  2. Asas konsensualisme (concsensualism)
  3. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)
  4. Asas itikad baik (good faith)
  5. Asas kepribadian (personality)
Dalam Perpres 16/2018 pasal 1 ayat 44 menyatakan bahwa "Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola". 

Untuk kontrak tahun jamak didalam Perpres 16/2018 diatur pada pasal 27 ayat 9 sebagai berikut :
"Kontrak Tahun Jamak merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang membebani lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat berupa:
  • pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan atau lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran; atau
  • pekerjaan yang memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dan paling lama 3 (tiga) Tahun Anggaran"

Dalam Peraturan LKPP 9/2018 juga mengatur kontrak tahun jamak sebagai berikut:
"Kontrak Tahun Jamak merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang membebani lebih dari satu tahun anggaran dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan. Kontrak Tahun Jamak dapat berupa:
  1. Untuk pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti proyek pembangunan infrastruktur, jalan, jembatan, dam, waduk, gedung, kapal, pesawat terbang, pengembangan aplikasi IT, atau pembangunan/rehabilitasi kebun;
  2. Untuk pekerjaan yang penyelesaiannya tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan tetapi pelaksanaannya melewati lebih dari 1 (satu) tahun anggaran, seperti: pengadaan barang/jasa yangpelaksanaannya bergantung pada musim contoh penanaman benih/bibit, penghijauan, atau pengadaan barang/jasa yang layanannya tidak boleh terputus, contoh penyediaan makanan dan obat di rumah sakit, penyediaan makanan untuk panti asuhan/panti jompo, penyediaan makanan untuk narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, penyediaan pakan hewan di kebun binatang; atau
  3. Untuk pekerjaan yang memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dan maksimum 3 (tiga) tahun anggaran, seperti jasa layanan yang tidak boleh terhenti misalnya pelayanan angkutan perintis darat/laut/udara, layanan pembuangan sampah, sewa kantor, jasa internet/jasa komunikasi, atau pengadaan jasa pengelolaan gedung"
Dari pengaturan kontrak tahun jamak pada Perpres 16/2018 maupun Peraturan LKPP 9/2018 sudah mengatur karakteristik pengadaan barang/jasa yang dapat dilakukan dengan kontrak tahun jamak.

Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pelaku pengadaan yang memiliki tugas menetapkan rancangan kontrak adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagaimana amanat pasal 11 Perpres 16/2018. Menetapkan rancangan kontrak merupakan salah satu elemen dalam perencanaan pengadaan. Dalam menetapkan rancangan kontrak tersebut, tentunya PPK harus telah melakukan identifikasi kebutuhan pekerjaan dimaksud. Misalnya, memilih jenis kontrak, cara pembebanan anggaran,dll disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan.

D. Ilustrasi Potensi Masalah Kontrak Tahun Jamak Dalam APBD

Bagaimana apabila suatu Pemda merencanakan kegiatan tahun jamak selama 2 (dua) tahun misalnya dari tahun 2020 - 2021. Nota kesepakatan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD ditandatangani pada KUA PPAS perubahan APBD T.A. 2020. Dalam nota kesepakatan tersebut telah menyepakati alokasi anggaran per tahun (asumsinya nota kesepakatan mencantumkan sesuai dengan PP 12/2019). Namun karena ada kendala teknis, pekerjaan yang direncanakan tersebut berjalan molor dan kontrak ditandatangani pada tahun 2021 serta pelaksanaan kontrak hanya sampai dengan bulan September 2021. Artinya pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak melebihi 1 (satu) tahun anggaran. Apakah masih relevan memilih jenis kontrak tahun jamak?

Ilustrasi masalah diatas, seharusnya tidak terjadi. Apabila terjadi, maka terindikasi bahwa kegiatan tahun jamak tersebut tidak direncanakan dan dikaji secara terukur dalam berbagai aspek. "Ketika gagal merencanakan sesuatu, kita sedang merencanakan kegagalan" begitu kata Benjamin Franklin. Menurut saya, jika masalah terjadi seperti ilustrasi diatas maka bukan saja merencanakan kegagalan, namun kita sudah merancang permasalahan. Oleh karena itu dalam merancang kegiatan tahun jamak harusnya mempertimbangan aspek perencanaan daerah, cash flow keuangan daerah, serta aspek pengadaan barang/jasa pemerintah. Aspek - aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan.

Bagaimana menjawab permasalah memilih jenis kontrak terhadap ilustrasi diatas?. Jika kita melihat dari PP 12/2019 sudah mengamanatkan bahwa kegiatan tahun jamak, pekerjaannya dilakukan dengan kontrak tahun jamak (pasal 1 ayat 28). Dalam Perpres 16/2018 dan aturan turunannya, mengamanatkan bahwa untuk pekerjaan yang melebihi 1 (satu) tahun atau untuk pekerjaan yang penyelesaiannya tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan tetapi pelaksanaannya melewati lebih dari 1 (satu) tahun anggaran menggunakan kontrak tahun jamak yang dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat yang berwenang. Apa yang dimaksud dengan persetujuan pejabat yang berwenang? Apakah Kepala Daerah atau DPRD atau PA atau Menteri Keuangan/Dalam Negeri?. Memang dalam Perpres 16/2018 tidak mengatur secara eksplisit terkait pejabat yang berwenang tersebut. Menurut hemat saya, dalam pengelolaan keuangan daerah maka nota kesepakatan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD adalah merupakan dokumen persetujuan pejabat yang berwenang. Karena nota kesepakatan tersebut sudah menyepakati alokasi anggaran per tahun anggaran terhadap kegiatan tahun jamak dimaksud.

Nah, kita kembali melihat pokok masalah dalam ilustrasi permasalahan diatas. Permasalahannya adalah pada waktu pelaksanaan pekerjaan yang tidak melebihi tahun anggaran. Artinya, dapat disimpulkan bahwa dari dimensi regulasi pengadaan  maka kontrak pekerjaan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kontrak tahun jamak. Muncul pertanyaan, tapi dalam PP 12/2019 sudah mengamanatkan bahwa dilakukan dengan mekanisme kontrak tahun jamak. Bukankah PP lebih tinggi dari Perpres dalam hirarki peraturan perundang-undangan?. Hemat saya, bahwa ada asas hukum yakni Asas lex specialis derogat legi generali yang bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang khusus meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang umum. PP 12/2019 adalah dimensi pengelolaan keuangan daerah, artinya mengatur tentang kesepakatan pengalokasian anggaran per tahun dalam kegiatan tahun jamak. Namun dalam pelaksanaan pekerjaan karena berhubungan dengan perikatan pengadaan barang/jasa maka Perpres 16/2018 adalah regulasi yang mengatur secara khusus terkait hal tersebut. Sehingga jika menentukan jenis kontrak, maka Perpres 16/2018 yang harus menjadi pedoman karena kekhususannya mengatur teknis pengadaan barang/jasa pemerintah.

Saya berkesimpulan terhadap ilustrasi permasalahan kontrak tahun jamak diatas, adalah tidak tepat kalau menggunakan kontrak tahun jamak. Karena sangat tidak memungkinkan sumber dana dalam kontrak adalah menggunakan sumber dana tahun sebelumnya. Oleh karena itu, PPK melalui PA harus memastikan bahwa alokasi anggaran di tahun 2020 sebagaimana nota kesepakatan sudah terakomodir pada anggaran tahun 2021. Jika belum terakomodir, maka haram hukumnya untuk menandatangani kontrak. Bukankah salah satu asas berkontrak adalah asas kepastian hukum? Termasuk memastikan jumlah anggaran yang tersedia dalam APBD?. Jika dari awal tidak melakukan mitigasi dalam draft kontrak, maka potensi sengketa kontrak dapat terjadi. Hal ini dapat terjadi apabila klaim pembayaran prestasi pekerjaan dari penyedia kepada pemerintah, ternyata tidak cukup anggaran. Jenis kontrak juga sangat mempengaruhi proses pemilihan penyedia. Oleh karena itu PPK dalam menyusun draft kontrak, idealnya mempertimbangkan berbagai aspek.

Label: , , , ,

Jumat, 14 Februari 2020

Tentang Peralatan Utama Dalam Tender Pekerjaan Konstruksi



Pada pelaksanaan tender konstruksi, salah satu syarat yang diatur dalam dokumen pemilihan adalah peralatan utama. Dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 7/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia, menyakatan bahwa "Peralatan Utama adalah peralatan yang mendukung  langsung dan sesuai kebutuhan  untuk melaksanakan pekerjaan  pekerjaan utama (major item)". Persyaratan peralatan utama dalam pekerjaan konstruksi merupakan bagian dari spesifikasi teknis, sehingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) seyogyanya dalam menyusun persyaratan peralatan utama harus terlebih dahulu mengetahui pekerjaan utama (major item) berdasarkan karakteristik pekerjaan konstruksi yang akan dilakukan tender tersebut.

Misalnya dalam pekerjaan jalan/jembatan, sebagaimana Spesifikasi Umum Bina Marga Untuk Pekerjaan Konstruksi Jalan dan Jembatan (2010 Rev. 3) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, mengklasifikasikan pekerjaan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu Pekerjaan "Utama”, Pekerjaan “Pengembalian Kondisi dan Minor”, dan Pekerjaan “Pemeliharaaan Rutin". Dalam spesifikasi umum Bina Marga 2010 Revisi 3 tersebut telah mengkategorikan pekerjaan yang termasuk pekerjaan utama dalam pekerjaan jalan/jembatan. Namun Spesifikasi Umum Bina Marga Tahun 2018 sebagaimana diatur melalui Surat Edaran Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR Nomor : 02/SE/Db/2018, tidak lagi menjelaskan pengelompokan pekerjaan sebagaimana spesifikasi Bina Marga tahun 2010 Revisi 3. Walaupun tidak menjelaskan, pada substansinya PPK harus memiliki pemahaman yang baik dalam mengkategorikan pekerjaan utama sehingga mampu menyusun persyaratan peralatan utama untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan pekerjaan.


Terkait dengan beberapa diskusi tentang peralatan utama, saya rangkum dalam question & answer berikut ini :

Q1 : "Apakah PPK boleh mempersyaratkan peralatan utama harus milik sendiri?"
A1 : "Dalam Permen PUPR 7/2019 menyatakan bahwa Khusus pekerjaan dengan nilai HPS di atas Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), maka peralatan utama wajib milik sendiri atau dalam status Sewa Beli dengan ketentuan peralatan sudah dalam penguasaan. Sehingga untuk pekerjaan yang memiliki nilai HPS dibawah 200 M, seharusnya tidak diperbolehkan mewajibkan peralatan utama harus milik sendiri"


Q2 : "Apakah peserta tender pekerjaan konstruksi dalam menyampaikan dokumen penawaran teknis khususnya peralatan utama harus menyampaikan/mengupload bukti kepemilikan/status peralatan utama?"
A2 : "Dalam Permen PUPR 7/2019 khususnya pada bagian contoh surat penawaran mengisyaratkan bahwa peserta tender menyampaikan Daftar isian Peralatan utama beserta bukti/dokumen pendukung. Contoh bukti/dokumen pendukung peralatan utama yang ditawarkan, yaitu :
  1. Milik sendiri, dilakukan terhadap bukti kepemilikan peralatan (contoh STNK, BPKB, invoice)
  2. Sewa Beli, dilakukan terhadap bukti pembayaran Sewa Beli (contoh invoice uang muka, angsuran)
  3. Sewa, dilakukan terhadap kebenaran surat perjanjian sewa,"

Q3 : "Misalnya salah satu peralatan utama adalah dump truk, dalam dokumen penawaran teknis, peserta tender hanya menyampaikan bukti pendukung dump truk milik sendiri berupa STNK tanpa menyampaikan BPKB, apakah dinyatakan gugur?"
A3 : "STNK, BPKB dan Invoice merupakan bukti kepemilikan sebagaimana diatur dalam Permen PUPR 7/2019. Maka apabila yang disampaikan hanya STNK, hal ini seharusnya tidak menggugurkan. Untuk lebih memperjelas, pokja pemilihan dapat melakukan klarifikasi terhadap STNK tersebut"


Q4 : "Bagaimana kalo STNK dump truk yang disampaikan masa berlakunya sudah habis?"
A4 : "Dalam proses evaluasi penawaran, hal ini tidak masalah sepanjang kapasitas dump truknya sesuai dengan yang dipersyaratkan. Namun apabila ditetapkan pemenang, maka STNK tersebut wajib diperbaharui masa berlakunya sebelum dilaksanakan pekerjaan"


Q5 : "Untuk peralatan utama dengan status sewa, apakah peserta tender dalam dokumen penawaran teknisnya cukup menyampaikan surat perjanjian sewa?"
A5 : "Dalam Permen PUPR 7/2019, mengisyaratkan seperti itu. Untuk peralatan dengan status sewa, yang dievaluasi adalah kebenaran surat perjanjian sewa. Untuk itu, agar lebih memperjelas maka pokja pemilihan melakukan klarifikasi terhadap pemilik peralatan (lessor) dengan memperhatikan bukti kepemilikan dari pemilik peralatan (lessor) tersebut."


Q6 : "Bagaimana apabila peserta tender mengikuti beberapa paket pekerjaan konstruksi menyampaikan peralatan yang sama?"
A6 : "Dalam Permen PUPR 7/2019 mengatur 2 (dua opsi) yaitu :
  1. Jika menawarkan peralatan yang sama untuk beberapa paket yang diikuti dan dalam  evaluasi memenuhi persyaratan pada  masing-masing paket pekerjaan, maka  hanya dapat ditetapkan sebagai pemenang  pada 1 (satu) paket pekerjaan dengan cara  melakukan klarifikasi untuk menentukan  peralatan tersebut akan ditempatkan, sedangkan untuk paket pekerjaan lainnya  dinyatakan peralatan tidak ada dan  dinyatakan gugur.
  2. Dapat ditetapkan lebih dari 1 (satu) paket pekerjaan (jika memenuhi dalam evaluasi) apabila dengan syarat waktu penggunaan alat tidak tumpang tindih (overlap), ada peralatan cadangan yang diusulkan dalam Dokumen Penawaran yang memenuhi syarat, lokasi peralatan yang berdekatan dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat digunakan sesuai dengan jadwal pelaksanaan pekerjaan, dan/atau kapasitas dan produktivitas peralatan secara teknis dapat menyelesaikan lebih dari 1 (satu) paket pekerjaan"


Q7 : "Bagaimana jika peralatan yang ditawarkan peserta tender, ternyata peralatan tersebut sedang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan lain?'
A7 : "Dalam Permen PUPR 7/2019 mengatur 2 (dua opsi) yaitu :
  1. Apabila peserta menawarkan peralatan yang sama pada paket pekerjaan lain/yang sedang berjalan, maka hanya dapat ditetapkan sebagai pemenang, apabila setelah dilakukan klarifikasi peralatan tersebut tidak terikat pada paket lain
  2. Jika peralatan yang ditawarkan sementara digunakan untuk pekerjaan yang sedang dilaksanakan maka dapat diterima apabila dengan syarat waktu penggunaan alat tersebut tidak tumpang tindih (overlap), lokasi peralatan yang berdekatan dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat digunakan sesuai dengan jadwal pelaksanaan pekerjaan, dan/atau kapasitas dan produktivitas peralatan secara teknis dapat menyelesaikan lebih dari 1 (satu) paket pekerjaan"


Demikian pendapat pribadi saya, dalam mempelajari peralatan utama berdasarkan Peraturan Menteri PUPR nomor : 7/PRT/M/2019.. Insha Allah bermanfaat..

Label: , , , ,

Selasa, 28 Januari 2020

Persyaratan Pengalaman Pada Kualifikasi Teknis Penyedia Dalam Pengadaan Barang Menurut Peraturan LKPP 9/2018



Dalam Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, menyatakan bahwa dalam syarat kualifikasi teknis penyedia pada persyaratan pengalaman khususnya pengadaan barang sebagai berikut :

Memiliki pengalaman:

a) Penyediaan barang pada divisi yang sama (sesuai Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia/KBKI Buku 1, Badan Pusat Statistik, 2012) paling kurang 1 (satu) pekerjaan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, termasuk pengalaman subkontrak; dan

b) Penyediaan barang sekurang-kurangnya dalam kelompok/grup yang sama paling kurang 1 (satu) pekerjaan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, termasuk pengalaman subkontrak

Dari konfigurasi tersebut, beberapa hal yang patut dipahami antara lain sebagai berikut sebagaimana saya susun dalam question and answer 

Q1 : "Apa yang dimaksud dengan divisi?"

A1 : "Divisi yang dimaksudkan dalam klausul tersebut diadopsi dari Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia (KBKI) yaitu merupakan uraian lebih lanjut dari seksi produk/ komoditas. Kode divisi terdiri dari 2 (dua) digit, dimana satu digit pertama menunjukkan seksi yang berkaitan dan satu digit terakhir menunjukkan produk/komoditas dari divisi bersangkutan"


Q2 : "Apa itu Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia (KBKI)?"

A2 : "Klasifikasi Baku Komoditi Indonesia (KBKI), merupakan klasifikasi hasil produksi yang mencakup komoditi barang dan jasa. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk menyusun dan mentabulasikan berbagai jenis data yang memerlukan uraian mengenai hasil produksi yang rinci dan lengkap yang sering digunakan untuk statistik industri, neraca nasional, statistik perdagangan dalam negeri dan luar negeri, jasa yang diperdagangkan secara internasional, neraca pembayaran, pengeluaran konsumsi, dan statistik harga-harga"


Q3 : "KBKI Buku 1 2012 itu maksudnya apa?"

A3 : "KBKI Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia 2012 (KBKI 2012), merupakan penjabaran sampai dengan 10 (sepuluh) digit KBKI 2010 yang mencakup komoditas barang. Dalam KBKI 2012 dibagi dalam 4 (empat) buku yaitu :
  1. Buku 1 : mencakup Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia yang berisikan komoditas barang untuk seksi 0, dan seksi 1. Seksi 0 merupakan komoditas hasil Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, sedangkan seksi 1 adalah komoditas Bijih Besi dan Mineral; Listrik, Gas dan Air. KBKI Buku 1 dapat didownload disini
  2. Buku 2 : berisikan komoditas barang untuk seksi 2 Produk Makanan, Minuman dan
    Tembakau; Tekstil, Pakaian dan Produk Kulit. KBKI Buku 2 dapat didownload disini
  3. Buku 3 : untuk komoditas seksi 3 Barang Lainnya Yang Dapat Diangkut, Kecuali Produk Logam, Mesin Dan Perlengkapannya. KBKI Buku 3 dapat didownload disini.
  4. Buku 4 : untuk komoditas seksi 4 Produk Logam, Mesin dan Perlengkapannya. KBKI Buku 4 dapat didownload disini."

Q4 : "Apa yang dimaksud dengan kelompok/grup yang sama dalam Peraturan LKPP 9/2018?"

A4 : "Kelompok/grup dalam Peraturan tersebut diadopsi juga dari KBKI yang merupakan uraian lebih lanjut dari divisi produk/ komoditas. Kode kelompok terdiri dari 3 (tiga) digit, dimana dua digit pertama menunjukkan divisi yang berkaitan dan satu digit terakhir menunjukkan produk/ komoditas dari kelompok yang bersangkutan"


Q5 : "Misalnya ada pengadaan bibit kelapa memiliki nilai HPS sebesar Rp. 1.000.000.000 dengan metode tender, bagaimana pengisian syarat pengalaman dalam dokumen pemilihan?"

A5 : "Untuk mempersyaratkan pengalaman pada pengadaan bibit kelapa, maka dalam menetapkan divisi dan kelompok/grup tersebut mengacu pada KBKI Buku 1 2012. Hal ini kemudian dituangkan dalam dokumen pemilihan pada Bab. V Lembar Data Kualifikasi (LDK). Contohnya sebagai berikut :




Q6 : "Bagaimana mengevaluasi pengalaman dalam kualifikasi teknis peserta tender?"

A6 : "Misalnya di tahun 2020 dilaksanakan tender pengadaan bibit kelapa sebagaiamana contoh sebelumnya. Dalam tender tersebut ada 2 (dua) peserta yang memasukkan penawaran dengan hasil evaluasi sebagai berikut :



Q7 : "Pada Peraturan LKPP 9/2018 di bagian klausul mana yang mengisyaratkan pengalaman harus memenuhi kedua-duanya yakni divisi dan kelompok/grup?"

A7 : "Dalam Peraturan LKPP 9/2018 diatur dalam syarat kualifikasi teknis pada halaman 32. Kata "dan" dalam klausul tersebut mengisyaratkan hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Berikut adalah pengaturan syarat pengalaman dalam Peraturan LKPP 9/2018 



Pengaturan ini juga dituangkan dalam SDP Pengadaan Barang Tender Metode Pascakualifikasi sebagaimana diatur dalam Keputusan Deputi I LKPP Nomor 3 Tahun 2018 tentang Standar Dokumen Pemilihan Melalui Tender, Seleksi, Dan Tender Cepat Untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya/Jasa Konsultansi. Hal ini dipertegas dalam SDP pada bagian tata cara evaluasi kualifikasi diisyaratkan bahwa Data Kualifikasi akan dievaluasi sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Lembar Data Kualifikasi (LDK)


Demikian.. Tulisan ini hanya merupakan pendapat pribadi saya dalam mempelajari pengadaan barang/jasa pemerintah... 

Salam pengadaan....

Label: , , ,

Senin, 27 Januari 2020

Personel Manajerial Dalam Tender Pekerjaan Konstruksi


Dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor : 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia menyatakan bahwa Personel Manajerial adalah tenaga ahli atau tenaga teknis yang ditempatkan sesuai penugasan pada organisasi pelaksanaan pekerjaan. Dalam tender pekerjaan konstruksi, personel manajerial merupakan salah satu persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh peserta tender. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam menyusun persyaratan personel manajerial harus disesuaikan dengan kebutuhan pekerjaan konstruksi yang akan ditenderkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut, antara lain :

  1. Personel manajerial yang disyaratkan meliputi jabatan : Manager Pelaksanaan/ Proyek, Manager Teknik, Keuangan, dan/atau Ahli/Petugas K3. Untuk pekerjaan yang memiliki tingkat risiko kecil, maka dapat mensyaratkan Petugas K3 atau Ahli K3 sedangkan untuk pekerjaan yang masuk dalam kategori risiko besar maka mensyaratkan Ahli K3.
  2. Untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi usaha kecil (nilai HPS sampai dengan Rp. 10.000.000.000) tidak mensyaratkan tenaga ahli. Sedangkan bagi usaha menengah (nlai HPS diatas Rp. 10.000.000.000 – Rp. 100.000.000.000) dan usaha besar (nilai HPS diatas Rp. 100.000.000.000) tidak mensyaratkan Tenaga Teknisi atau Analis dan Operator.
  3. Mempersyaratkan tingkat pendidikan personel manajerial yang relevan. Misalnya untuk personel manajerial yang memiliki SKT, dipersyaratkan memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK/sederajat. Sedangkan personel manajerial yang memiliki SKA, dipersyaratkan memiliki tingkat pendidikan S1/S2/S3.
  4. Mempersyaratkan lamanya pengalaman pekerjaan personel manajerial. Pengalaman pekerjaan tersebut adalah pengalaman yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang ditenderkan. Misalnya lamanya pengalaman pekerjaan personel manajerial yang dipersyaratkan adalah 3 (tiga) tahun.
  5. Hanya mensyaratkan 1 (satu) sertifikat kompetensi kerja untuk setiap personel yang disyaratkan.
Berikut ini saya sampaikan contoh penyusunan persyaratan personel manajerial oleh PPK dalam tender pekerjaan konstruksi Pekerjaan Jalan dengan nilai Rp. 5.000.000.000 (lima milyard rupiah) sebagaimana gambar berikut :


Setelah PPK menetapkan kebutuhan personel manajerial yang merupakan bagian dari spesifikasi teknis, kemudian menyampaikan dokumen persiapan pengadaan (DPP) kepada UKPBJ. Setelah mendapatkan DPP tersebut, Kepala UKPBJ menugaskan kepada Pokja Pemilihan untuk melakukan proses tender atas pekerjaan tersebut. Sebelum melaksanakan proses tender, Pokja Pemilihan melakukan reviu DPP agar memastikan bahwa DPP tersebut termasuk personel manajerial yang dipersyaratkan telah sesuai dengan kebutuhan pekerjaan serta peraturan perundang-undangan. Sehingga untuk mendukung pelaksanaan tender yang mengaplikasikan prinsip-prinsip pengadaan, maka PPK maupun Pokja Pemilihan harus memiliki pengetahuan yang memadai terkait dengan pengorganisasian personel manajerial.
Dalam berbagai diskusi tentang personel manajerial, beberapa pertanyaan saya rangkum sebagaimana pada question & answer (Q & A) berikut ini :

Q1 : “Adakah regulasi yang mengatur jumlah minimal / maksimal personel manajerial dalam sebuah tender pekerjaan konstruksi?”

A1 : “Pada Peraturan Menteri PUPR Nomor : 07/PRT/M/2019, jabatan personel manajerial yang dipersyaratkan ada 4 (empat) yaitu manager pelaksanaan/proyek, manager teknik, manager keuangan dan Ahli/Petugas K3. Jika PPK menginginkan penambahan jabatan personel manajerial lagi maka harus dengan persetujuan pejabat pimpinan tinggi madya, dengan sebelumnya PPK membuat justifikasi teknis terkait penambahan jabatan personel manajerial tersebut”



Q2 : “Apakah Pokja Pemilihan bisa merubah persyaratan personel manajerial dari PPK?”

A2 : “Pokja Pemilihan boleh mengusulkan perubahan persyaratan personel manajerial yang telah ditetapkan PPK, apabila dalam Reviu DPP, Pokja Pemilihan memiliki alasan yang kuat dengan pertimbangan kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan”



Q3 : “Pada sebuah tender konstruksi, dalam dokumen pemilihannya mempersyaratkan salah satu personel manajerial memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK/Sederajat, tapi peserta tender menyampaikan personel manajerial yang memiliki tingkat pendidikan S1, apakah dinyatakan tidak memenuhi syarat?”

A3 : “Tingkat pendidikan yang dipersyaratkan adalah batasan minimal. Sehingga, apabila yang ditawarkan memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi maka dinyatakan memenuhi syarat tingkat pendidikannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 09/PRT/M/2013 tentang Persyaratan Kompetensi untuk Subkualifikasi Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil Bidang Jasa Konstruksi yang menyatakan bahwa Persyaratan pendidikan adalah pendidikan minimal yang harus dimiliki oleh seseorang dan dibuktikan dengan ijazah dari instansi pendidikan formal”



Q4 : “Dalam tender pekerjaan konstruksi, apakah Sertifikat Kompetensi Kerja (SKA/SKT) dibuktikan dalam pembuktian kualifikasi?”

A4 : “Sertifikat Kompetensi Kerja (SKA dan SKT) personel manajerial tidak termasuk dalam dokumen yang dibuktikan pada saat pembuktian kualifikasi. Permen PUPR 07/PRT/M/2019 mengisyaratkan bahwa Sertifikat Kompetensi Kerja dibuktikan saat rapat persiapan penunjukan penyedia (pre award meeting) oleh PPK”



Q5 : “Dalam tender pekerjaan konstruksi, apakah dokumen SKA/SKT dilampirkan dalam dokumen penawaran teknis?”

A5 : “Tidak perlu dilampirkan. Dalam dokumen penawaran teknis, peserta tender cukup menyampaikan surat pernyataan kepemilikan sertifikat kompetensi kerja sebagaimana contoh format dalam dokumen pemilihan”



Q6 : “Dalam dokumen pemilihan tender pekerjaan konstruksi, peserta diminta menyampaikan daftar isian personel manajerial beserta daftar riwayat pengalaman pekerjaan atau referensi kerja dari pemberi tugas. Apakah jika peserta tender hanya menyampaikan daftar riwayat pengalaman pekerjaan personel manajerial tanpa adanya referensi kerja dari pemberi tugas, dinyatakan tidak memenuhi syarat? Siapa pihak pemberi tugas yang dimaksud dalam referensi kerja tersebut?

A6 : “Peserta tender dapat memilih, menyampaikan daftar riwayat pengalaman pekerjaan atau referensi kerja dari pemberi tugas. Kata atau dalam klausul tersebut mengisyaratkan bahwa hal tersebut merupakan opsi. Terkait dengan definisi pemberi tugas dalam referensi kerja tidak diatur secara detail dalam Permen PUPR Nomor 07/PRT/M/2019. Jika kita menafsirkan pemberi tugas itu adalah badan usaha, maka memang benar bahwa badan usaha itu memberikan tugas kepada personil yang dipekerjakan pada salah satu kontrak/pekerjaan. Namun, jika kita menafsirkan pemberi tugas itu adalah Pengguna jasa, maka hal itu juga benar, karena berdasarkan UU 2 tahun 2017, Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan. Maka dapat disimpulkan bahwa untuk referensi kerja dari pemberi tugas dapat diberikan oleh pimpinan badan usaha yang menugaskan personil yang melaksanakan pekerjaan atau bisa juga dari pengguna jasa misalnya PPK. Pada prinsipnya, bahwa peserta tender silahkan memilih menyampaikan daftar riwayat pengalaman atau referensi kerja. Namun hal ini juga rawan terjadinya manipulasi ataupun pemalsuan pengalaman pekerjaan personil oleh peserta tender. Oleh karena itu, pokja pemilihan apabila meragukan pengalaman pekerjaan maka dapat melakukan klarifikasi atas hal tersebut. Klarifikasi dapat dilakukan dengan melihat bukti penugasan personil, melalui cara konfirmasi kepada PPK / pengguna jasa atas pekerjaan sebagaimana pengalaman pekerjaan yang disampaikan peserta tender”



Q7 : “Apakah Ahli K3/Petugas K3 harus memiliki pengalaman sesuai jenis pekerjaan yang ditenderkan?”

A7 : “Harus sesuai jenis pekerjaan yang ditenderkan”



Q8 : “Apakah dalam tender pekerjaan konstruksi untuk usaha kecil, dalam dokumen pemilihan mempersyaratkan Petugas K3, namun kami sebagai peserta tender menyampaikan personil manajerial yang memiliki SKA K3. Apakah dinyatakan tidak memenuhi syarat?”

A8 : “Sertifikat kompetensi kerja (SKA/SKT/Sertifikat Petugas K3) tidak dibuktikan pada saat proses pemilihan. Pembuktian sertifikat kompetensi dilakukan pada saat persiapan penunjukan penyedia oleh PPK yang turut dihadiri oleh Pokja Pemilihan. Hal yang patut diperhatikan adalah apabila disyaratkan SKT maka tidak dapat digantikan dengan SKA, namun hal ini agak berbeda dengan jabatan personel manajerial pada dimensi K3. Permen PUPR 07/PRT/M/2019, menyatakan bahwa untuk usaha kecil tidak mempersyaratkan tenaga ahli. Namun pada bagian lain, Permen PUPR 07/PRT/M/2019, juga mengisyaratkan bahwa untuk pekerjaan yang memiliki tingkat risiko kecil, maka dapat mensyaratkan Petugas K3 atau Ahli K3 sedangkan untuk pekerjaan yang masuk dalam kategori risiko besar maka mensyaratkan Ahli K3. Sehingga apabila dipersyaratkan petugas K3 namun peserta tender menyampaikan Ahli K3, hal ini seharusnya tidak menggugurkan, karena klausul “atau” dalam permen PUPR telah memberikan opsi”



Q9 : “Apakah personil manajerial merupakan tenaga kerja lapangan yang dipekerjakan pada pekerjaan konstruksi?”

A9 : “Personil manajerial berbeda dengan tenaga kerja lapangan. Yang dimaksud dengan manajer adalah orang yang memiliki pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang baik yang diakui oleh organisasi untuk dapat memimpin, mengelola, mengendalikan, mengatur serta mengembangkan organisasi dalam rangka mencapai tujuannya. Atau definisi manajer yang lainnya adalah seseorang yang dapat mengarahkan orang lain dan mampu bertanggung jawab atas kegiatan atau pekerjaan tersebut. Berdasarkan definisi – definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara personel manajerial dengan tenaga kerja lapangan (tenaga non-manajerial).”



Q10 : “PPK dalam menyusun persyaratan personel manajerial berpedoman pada regulasi apa?”

A10 : “PPK menyusun persyaratan personel manajerial berdasarkan kebutuhan pekerjaan. Regulasi yang dapat dijadikan rujukan antara lain Peraturan Menteri PU nomor 09/PRT/M/2013 tentang Persyaratan Kompetensi untuk Subkualifikasi Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil Bidang Jasa Konstruksi, Peraturan LPJK Nomor 5 Tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli, Peraturan LPJK Nomor 6 Tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Terampil serta Peraturan Menteri PUPR nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia”



Demikian pendapat pribadi saya, yang dihimpun berdasarkan diskusi dengan teman-teman penggiat PBJP. Semoga dapat menjadi bahan referensi dalam mempelajari pengadaaan barang/jasa pemerintah.
Salam pengadaan….

Label: , , , ,