Solusi Permasalahan Kontrak PBJ Akibat Pemangkasan / Penghematan Belanja Dalam APBD



A. PENDAHULUAN

Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah  sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya ditulis Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21) dalam pasal 1 ayat (44) menyatakan bahwa "Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia atau pelaksana Swakelola". Dalam kontrak diatur hak dan kewajiban para pihak yang berkontrak seperti objek pekerjaan yang harus dilakukan Penyedia, durasi waktu pelaksanaan pekerjaan, sumber daya penyedia yang harus disediakan dalam melaksanakan pekerjaan, nilai pekerjaan, sanksi, serta sumber dana pembiayaan kontrak. Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah (selanjutnya disingkat PBJP), pelaksanaan kontrak sering terjadi permasalahan akibat dari berbagai macam faktor. Misalnya, barang yang mau diadakan sudah diskontinu sehingga harus mengganti dengan barang yang setara untuk memenuhi kebutuhan, kondisi lapangan yang berbeda dengan perencanaan konstruksi, Penyedia yang melakukan sub kontrak tanpa sepengetahuan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), maupun adanya pemangkasan anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) / Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang mengakibatkan sumber dana pembiayaan kontrak mengalami perubahan. Faktor – faktor tersebut seringkali membuat PPK harus bekerja keras membuat keputusan yang tepat tentang tindak lanjut dari kontrak yang sedang dilaksanakan sehingga tidak menimbulkan sengketa kontrak dan/atau permasalahan hukum. Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan secara garis besar tentang solusi atas permasalahan kontrak tahun tunggal yang diakibatkan dari faktor pemangkasan anggaran khususnya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).


B. PEMBAHASAN

Sekilas Tentang APBD
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (selanjutnya ditulis PP 12/19) pada pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa “APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan Perda”. APBD disusun oleh Kepala Daerah, dibantu oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah. TAPD terdiri atas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat lain sesuai dengan kebutuhan. Tugas TAPD antara lain:
  1. Membahas kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah
  2. Menyusun dan membahas rancangan KUA dan rencana perubahan KUA
  3. Menyusun dan membahas rancangan PPAS dan rencana perubahan PPAS
  4. Melakukan verifikasi RKA SKPD
  5. Membahas rancangan APBD, rancangan perubahan APBD, dan rancangan pertanggungjawaban APBD
  6. Membahas hasil evaluasi APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban APBD
  7. Melakukan verifikasi rancangan DPA SKPD dan rancangan perubahan DPA SKPD
  8. Menyiapkan surat edaran Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan RKA
  9. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Fungsi APBD menurut PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah antara lain:
1. Otorisasi
    APBD menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja di tahun berkenaan

2. Perencanaan
    APBD menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun berkenaan

3. Pengawasan
  APBD menjadi pedoman untuk menilai kesesuaian antara kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4.  Alokasi
   APBD diarahkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan agar dapat mengurangu pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

5.    Distribusi
Kebijakan APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

6.     Stabilisasi
APBD menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

APBD bertujuan untuk mengatur penerimaan dan pengeluaran yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah selama satu tahun anggaran yang memiliki struktur berikut:
1. Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran berkenaan.Pendapatan Daerah terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Daerah meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang sah.
b. Pendapatan transfer meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alikasi khusus fisik dan non fisik, dana insentif daerah, dana desa.
c.  Lain-lain Pendapatan yang sah terdiri atas pendapatan hibah, bantuan keuangan dan pendapatan lainnya yang sah menurut peraturan perundang-undangan

2. Belanja Daerah adalah semua kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode waktu berkenaan
Belanja daerah terdiri dari :
a. Belanja Operasi meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah dan belanja bantuan sosial.
b. Belanja Modal meliputi belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan serta aset tetap lainnya.
c. Belanja Tidak Terduga
d. Belanja Transfer meliputi belanja bagi hasil dan belanja bantuan keuangan.

3. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun berkenaan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan daerah terdiri dari:
a. Penerimaan pembiayaan meliputi SiLPA, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah dan penerimaan pembiayaan lainnya.
b. Pengeluaran pembiayaan daerah meliputi pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo, penyertaan modal daerah, pembentukan dana cadangan, pemberian pinjaman daerah dan pengeluaran pembiayaan lainnya.

Secara umum, dalam melaksanakan belanja daerah pada APBD sebagian besar diaplikasikan melalui proses PBJP, sehingga dalam penyusunan APBD idealnya memperhatikan kebijakan pengadaan, tujuan pengadaan dan etika pengadaan sebagaimana yang diatur dalam Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21 beserta aturan turunannya. Dalam praktiknya, kontrak PBJP bersumber dana dari APBD pada struktur belanja daerah (operasi, modal dan belanja tidak terduga).  Memang APBD adalah merupakan rencana, sehingga perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun ikhtiar yang dilakukan saat perencanaan APBD seyogyanya perlu dilakukan agar perubahan tidak terlalu signifikan. Kecuali perubahan APBD akibat dari keadaan daruratl, misalnya yang terjadi pada tahun 2020 yakni bencana non alam wabah COVID-19. Pada saat itu pemerintah pusat menginstruksikan agar Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah melakukan refocusing dan realokasi anggaran untuk mendukung penanganan wabah COVID-19. Namun apabila perubahan APBD akibat pendapatan tidak tercapai sesuai target, maka hal itu merupakan indikasi kekeliruan dalam melakukan formulasi potensi pendapatan daerah di saat penyusunan APBD.

Sekilas Tentang Kontrak PBJP
Menurut terjemahan dari Black’s Law Dictionary, definisi kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), kontrak melahirkan suatu perikatan antara pihak yang mengikatkan dirinya. Sehingga dari kontrak inilah lahir suatu perikatan di mana para pihak yang mengikatkan diri memiliki kewajibannya masing-masing sesuai yang ditentukan dalam kontrak. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, kontrak akan sah jika memenuhi beberapa syarat di bawah ini:
  • Kecakapan para pihak;
  • Kesepakatan antara para pihak;
  • Adanya suatu hal atau objek tertentu;
  • Suatu sebab yang halal (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban umum);
Bagaimana jika kontrak tidak memenuhi 4 (empat) syarat tersebut?. Keempat syarat tersebut dibagi atas 2 (dua) yaitu :
- Syarat Subjektif
Kecakapan para pihak dan kesepakatan para pihak termasuk syarat subjektif karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian

- Syarat Objektif
Adanya suatu hal atau objek tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian

Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut “DAPAT DIBATALKAN”. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah “BATAL DEMI HUKUM”. Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Bahwa dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan yaitu dilihat adanya unsur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dua unsur yang menyangkut  unsur subjektif dan dua unsur yang menyangkut unsur objektif dan pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Berkenaan dengan hukum kontrak, norma hukum kontrak merupakan norma yang sifatnya mengatur (regelend recht atau aanvullend recht) domain hukum perdata, oleh karenanya dalam hukum perdata berlaku lima prinsip atau asas, yaitu:
  • Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
  • Asas konsensualisme (concsensualism)
  • Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)
  • Asas itikad baik (good faith)
  • Asas kepribadian (personality)

Kontrak dalam PBJP secara teknis diatur melalui Perpres 16/18 Jo. 12/21 dan aturan turunannya. Berikut tabel menjelaskan tentang bentuk dan jenis kontrak PBJP

Tabel 1. Bentuk Kontrak


























Tabel 2. Jenis Kontrak

PPK dalam memilih bentuk dan jenis kontrak perlu memperhatikan karakteristik pengadaan barang/jasa yang akan dilakukan dengan bentuk dan jenis kontrak sebagaimana tabel 1 dan tabel 2. Kesalahan memilih jenis kontrak akan berdampak terjadinya sengketa kontrak maupun menghadapi resiko hukum. Untuk itu, perlu ada peningkatan kompetensi PPK sebagai upaya dalam mewujudkan pelaksanaan kontrak yang akuntabel. Selain itu, pengendalian kontak oleh PPK merupakan hal yang paling penting dalam rangka memastikan tercapainya tujuan berkontrak. Mengutip pernyataan seorang praktisi pengadaan, Bapak  Mudjisantosa yang menyatakan bahwa apabila terjadi permasalahan kontrak maka lakukan “2L”, yaitu logis dan legal.

Solusi Permasalahan Kontrak Akibat Pemangkasan APBD
Dalam kontrak sudah diatur sumber dana pembiayaan atas pelaksanaan pekerjaan yang dikontrakan. Misalnya bersumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bagaimana apabila ada kebijakan daerah untuk melakukan pemangkasan atau penghematan belanja dalam APBD akibat dari realisasi pendapatan yang tidak tercapai, yang pada akhirnya "dipaksa" untuk merubah atau bahkan memutuskan kontrak?. Jika ada kebijakan daerah yang mengakibatkan adanya penghematan dalam APBD, maka akan berdampak pada pelaksanaan kontrak. Dampaknya yang paling dominan adalah terjadinya penurunan nilai kontrak dan/atau anggaran dihapus secara penuh. Karena kontrak adalah merupakan perjanjian, muncul pertanyaan kemudian adalah “apakah perjanjian dapat dirubah?”. Pada Perpres 16/2018 beserta perubahan dan aturan turunannya memberikan ruang untuk kontrak dapat dilakukan perubahan. Sebagaimana dalam pasal 54 ayat 1 menyatakan :

Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis/KAK yang ditentukan dalam dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia dapat melakukan perubahan kontrak, yang meliputi:
  1. menambah atau mengurangi volume yang tercantum dalam Kontrak;
  2. menambah dan/atau mengurangi jenis kegiatan;
  3. mengubah spesifikasi teknis sesuai dengan kondisi lapangan; dan/atau
  4. mengubah jadwal pelaksanaan;”

Jika kita mengacu secara redaksional pasal 54 ayat 1 diatas, perubahan kontrak dilakukan apabila ada perbedaan kondisi lapangan dengan gambar dan/ataupun spesifikasi teknis/KAK yang direncanakan. Yang dimaksudkan dengan kondisi lapangan adalah yang berhubungan dengan objek dari pengadaan barang/jasa tersebut. Misalnya pada pengadaan Laptop ternyata setelah berkontrak, laptop dengan jenis tersebut sudah dinyatakan diskontinu oleh pabrikan sehingga perlu ada perubahan kontrak khususnya pada jenis laptop digantikan laptop yang setara. Muncul pertanyaan kemudian adalah “apakah pemangkasan anggaran pada APBD termasuk kondisi lapangan sesuai redaksional pasal tersebut?”. Jika menakar secara redaksional, pasal 54 mengatur perubahan pada sisi teknis pelaksanaan kontrak. Sedangkan APBD yang merupakan sumber pembiayaan kontrak adalah merupakan kebijakan pemerintah yang diatur melalui rumpun aturan pengelolaan keuangan. Sehingga jika dikaitkan secara regulatif PBJP, pemangkasan anggaran pada APBD adalah merupakan keadaan kahar, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat pasal (52) Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21 yang menyatakan bahwa “keadaan kahar adalah suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak dalam Kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam Kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi”. 
Berangkat dari definisi keadaan kahar tersebut, maka pemangkasan APBD yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan keadaan yang tidak dapat diperkirakan oleh pihak yang berkontrak (PPK dan Penyedia).
Dalam pasal 55 Perpres 16/18 Jo. Perpres 12/21 mengatur teknis dalam keadaan kahar sebagai berikut :
  1. Dalam hal terjadi keadaan kahar, pelaksanaan Kontrak dapat dihentikan.
  2. Dalam hal pelaksanaan Kontrak dilanjutkan, para pihak dapat melakukan perubahan kontrak.
  3. Perpanjangan waktu untuk penyelesaian Kontrak disebabkan keadaan kahar dapat melewati Tahun Anggaran.
  4. Tindak lanjut setelah terjadinya keadaan kahar diatur dalam Kontrak.

Untuk itu, dalam menyikapi pemangkasan ataupun penghematan belanja dalam APBD maka yang paling utama adalah Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah yang merupakan Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) memberikan informasi resmi kepada para Pengguna Anggaran agar mengantisipasi dampak pemangkasan APBD terhadap kontrak yang sedang berjalan. Adapun beberapa alternatif solusi yang dapat dipilih sebagai berikut :

1. Penangguhan Pembayaran (Bayar Hutang)
Alternatif penangguhan pembayaran dilakukan sebagai berikut : 
  • Penyedia Barang/Jasa tetap menyelesaikan seluruh pekerjaan pada tahun anggaran berjalan
  • Pekerjaan diserahterimakan 100% (PHO) di tahun anggaran berjalan
  • Dapat dilakukan kontrak sampai anggaran berjalan
  • Sebagian/seluruh pembayaran dibayar pada tahun anggaran berikutnya
  • Pembayaran hutang tersebut wajib diaudit oleh Inspektorat atau BPKP
Alternatif penangguhan pembayaran ini dipilih dengan catatan bahwa ada jaminan ketersediaan anggaran pada APBD di tahun anggaran berikut.

2. Perpanjangan Waktu Kontrak (extension)
Alternatif perpanjangan waktu kontrak ini dilakukan sebagai berikut :
  • Perpanjangan waktu kontrak melampaui tahun anggaran berjalan.
  • Pembayaran seluruh/sebagian, dilakukan di tahun anggaran berikutnya.
  • Pekerjaan diserahterimakan 100% (PHO) di tahun anggaran berikutnya.
  • Pembayaran pada tahun anggaran berikutnya tidak diperlukan Audit.
Alternatif penangguhan pembayaran ini dipilih dengan catatan bahwa ada jaminan ketersediaan anggaran pada APBD di tahun anggaran berikut.

3. Penghentian Sementara
Alternatif penghentian sementara (postponed) ini dilakukan sebagai berikut :
  • Pekerjaannya dihentikan di tahun anggaran berjalan (pada saat pemotongan), dilanjutkan setelah anggarannya tersedia di tahun anggaran berikutnya;
  • Addendum penghentian sementara dan perpanjangan waktu kontrak sampai dengan di tahun anggaran berikutnya;
  • Pembayaran prestasi pekerjaan yang ditunda dilakukan di tahun anggaran berikutnya
Alternatif penghentian sementar ini dipilih dengan catatan bahwa ada jaminan ketersediaan anggaran pada APBD di tahun anggaran berikut.

4. Optimalisasi
Dilakukan optimalisasi penyesuaian ruang lingkup pekerjaan berdasarkan maksimal ketersediaan anggaran. Alternatif ini tidak dapat diterapkan untuk kontrak lumsum atau porsi kontrak lumsum untuk kontrak gabungan lumsum dan harga satuan. Hanya untuk kontrak harga satuan atau porsi kontrak harga satuan apabila menggunakan kontrak gabungan lumsum dan harga satuan.

5. Penghentian Kontrak Permanen
  • Apabila 4 (empat) alternative solusi di atas tidak disepakati, maka kontrak dihentikan/diputus dan Penyedia Barang/Jasa tidak dikenakan sanksi.
  • Pembayaran prestasi pekerjaan agar dilakukan audit oleh Inspektorat atau BPKP
Alternatif – alternatif tersebut memiliki karakteristik masing-masing sehingga dalam memilih alternatif tersebut sangat diperlukan dokumen yang aktual sebagai justifikasi teknis. PPK dan Penyedia sebagai pihak yang berkontrak perlu memperhatikan hak dan kewajibannya sehingga dalam mengambil keputusan terkait kontrak yang sedang dilaksanakan akan menghasilkan keputusan yang tepat. Memang pengambilan keputusan apabila adanya penghematan tidak sesederhana itu, sehingga tidak sedikit PPK yang ragu dalam melakukan keputusan. Hal ini dimaklumi, karena ketakutan PPK terjadinya dampak hukum baginya. Selain itu, Penyedia yang orientasinya pada keuntungan terkadang menambah keruwetan dalam menyikapi perubahan kontrak akibat penghematan APBD. Sebagai ilustrasi, CV. REZEKI sebagai Penyedia kualifikasi kecil sedang melaksanakan pekerjaan pembangunan gedung sekolah. Setelah menandatangani kontrak, CV. REZEKI melakukan permohonan kredit pinjaman pada Bank sebagai modal untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Tentunya, CV. REZEKI sudah memperhitungkan pinjaman tersebut dengan nilai kontrak. Bagaimana jika terjadi pemangkasan APBD dan kemudian pilihannya adalah penangguhan pembayaran?. Dan pembayaran hutang akan dilakukan pada tahun anggaran berikut. Hal ini akan berdampak pada distorsi cash flow CV. REZEKI yang berpotensi terjadi denda dari Bank akibat dari keterlambatan cicilan pinjaman pada bank. Dari ilustrasi tersebut, sudah dapat dibayangkan bahwa efek domino dari pemangkasan belanja APBD  secara negatif berpotensi berdampak bagi Penyedia yang sedang melaksanakan kontrak. Sehingga perlu upaya dan pertimbangan berbagai aspek dalam memilih alternatif solusi untuk menghindari terciptanya permasalahan kontrak.

C. KESIMPULAN
Dari penjabaran sederhana terkait solusi permasalahan kontrak akibat pemangkasan APBD, beberapa kesimpulan penulis sebagai berikut :
  1. Untuk menghindari potensi terjadinya permasalahan kontrak akibat pemangkasan APBD, maka perlu adanya peningkatan kualitas penyusunan rencana APBD. Permasalahan klasik yang sering terjadi adalah tidak tercapainya target pendapatan sehingga mengakibatkan penghematan belanja daerah. Hal ini patut menjadi perhatian bagi Pemerintah Daerah agar strategi dan formulasi dalam menyusun perencanaan APBD memperhatikan berbagai aspek termasuk pendekatan metodologi dalam forecasting pendapatan daerah.
  2. Apabila terjadi pemangkasan APBD, maka beberapa solusi/alternatif terhadap kontrak yang sedang berjalan adalah penangguhan pembayaran, perpanjangan waktu kontrak, penghentian sementara, optimalisasi, atau penghentian kontrak permanen. Alternatif – alternatif solusi tersebut dipilih berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkontrak (PPK dan Penyedia) dengan mengidentifikasi kemajuan pekerjaan yang sedang dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip – prinsip pengadaan dan tujuan pengadaan. Hasil kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam perubahan kontrak.
  3. Kolaborasi UKPBJ, APIP dan OPD perlu digiatkan sebagai upaya mitigasi terciptanya permasalahan kontrak.
Demikian tulisan sederhana, ini hanya merupakan pendapat pribadi sebagai sumbangsih pikiran dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Personel Manajerial Dalam Tender Pekerjaan Konstruksi

Persyaratan Pengalaman Pada Kualifikasi Teknis Penyedia Dalam Pengadaan Barang Menurut Peraturan LKPP 9/2018

Keterlambatan Pembayaran Sebagai Peristiwa Kompensasi Dalam Pelaksanaan Kontrak PBJP