I. PENDAHULUAN
Kemandirian ekonomi bangsa tidak lahir hanya dari jargon, melainkan dari keberanian untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi tumbuhnya industri dalam negeri. Produk Dalam Negeri termasuk produk lokal daerah bukan sekadar hasil karya pabrik atau bengkel kerja, melainkan representasi dari daya cipta, tenaga, dan inovasi anak bangsa. Melalui keberpihakan pada produk dalam negeri, kita bukan hanya memperkuat industri nasional, tetapi juga menanam fondasi bagi terciptanya lapangan kerja, peningkatan kompetensi sumber daya manusia, dan perputaran ekonomi yang lebih sehat. Dalam konteks inilah, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hadir sebagai instrumen strategis pemerintah untuk memastikan bahwa setiap belanja, khususnya dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, memberikan manfaat optimal bagi perekonomian nasional.
Tulisan yang sangat sederhana kali ini hanyalah merupakan pendapat pribadi penulis tentang Gambaran Umum Penggunaan TKDN Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dan sebagai penulis saya berpesan agar jangan pernah membaca tulisan ini ketika anda sedang mandi, kecuali memang anda memiliki skill anti air.
II. GAMBARAN UMUM TKDN
Sebelum memahami tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (yang selanjutnya akan disingkat TKDN), kita perlu tahu terlebih dahulu tentang apa itu Produk Dalam Negeri menurut peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, pada Pasal 85 menyatakan bahwa "Untuk pemberdayaan Industri dalam negeri, Pemerintah meningkatkan penggunaan produk dalam negeri". Amanat UU tersebut sudah sangat fundamental yang mengisyaratkan pemerintah untuk memformulasikan upaya dalam peningkatan produk dalam negeri yang bertujuan agar menggerakan perekonomian melalui peningkatan industri dalam negeri.
Sementara jika kita merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, pada pasal 1 ayat (21) menyatakan bahwa "Produk Dalam Negeri adalah Barang dan Jasa, termasuk rancang bangun dan perekayasaan, yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, menggunakan seluruh atau sebagian tenaga kerja warga negara Indonesia, dan prosesnya menggunakan Bahan Baku atau komponen yang seluruh atau sebagian berasal dari dalam negeri". Berangkat dari amanat UU 3/2014 dan PP 29/2018 maupun aturan perubahan lainnya yang mengatur tentang industri, kemudian pemerintah melakukan langkat konkrit melalui instrumen TKDN.
Apa itu TKDN?. Dalam PP 29/2018 maupun pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2025 tentang Ketentuan dan Tata Cara Sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri dan Bobot Manfaat Perusahaan, menjelaskan tentang definisi TKDN sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat (11) menyatakan bahwa "TKDN adalah besaran kandungan dalam negeri pada Barang, Jasa, serta gabungan Barang dan Jasa". Oleh karena TKDN adalah merupakan besaran, maka diperlukan perhitungan. Untuk membuktikan kandungan lokal, pelaku usaha perlu mengajukan proses sertifikasi TKDN melalui lembaga verifikasi independen yang ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Setelah melalui proses verifikasi, pelaku usaha akan mendapatkan Sertifikat TKDN yang dapat digunakan dalam mengikuti proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam Permenperin 35/2025 telah mengatur secara detail penghitungan TKDN untuk barang, jasa, dan gabungan barang dan jasa.
Misalnya untuk penghitungan TKDN pada barang, dihitung berdasarkan faktor produksi yang meliputi:
- bahan/material langsung dengan bobot sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);
- tenaga kerja langsung dengan bobot sebesar 10% (sepuluh persen); dan
- biaya tidak langsung pabrik (factory overhead) dengan bobot sebesar 15% (lima belas persen)
Untuk penghitungan TKDN pada jasa industri, dilakukan berdasarkan perbandingan antara biaya Jasa Industri keseluruhan dikurangi biaya Jasa Industri luar negeri terhadap biaya Jasa Industri keseluruhan, yang meliputi biaya yaitu tenaga kerja, alat kerja/fasilitas kerja, dan jasa umum.
Sedangkan Penghitungan nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa dilakukan dengan mengakumulasi hasil perkalian dari nilai TKDN gabungan Barang dengan proporsi nilai perolehan gabungan Barang dan hasil perkalian nilai TKDN Jasa dengan proporsi nilai perolehan Jasa.
Apakah pelaku usaha yang ingin memperoleh TKDN atas produknya dikenakan biaya? Dalam Permenperin 35/2025, dalam pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa "Biaya pelaksanaan penghitungan dan verifikasi nilai TKDN dan/atau nilai BMP dibebankan kepada Pelaku Usaha". Besaran biaya tersebut berpedoman pada standar biaya yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. Khusus untuk penerbitan sertifikat TKDN bagi Industri Kecil yang dilakukan secara self declare tidak dikenai biaya. Memang dalam aturan Permenperin 35/2025 mengamanatkan bahwa Penghitungan nilai TKDN Barang yang diproduksi oleh Pelaku Usaha Industri Kecil dapat dilakukan secara self declare dengan tetap mengikuti norma tahapan dalam Permenperin tersebut.
Setelah pelaku usaha mendapatkat sertifikat TKDN, maka masyarakat dapat melihat kandungan TKDN barang/jasa tersebut melalui portal tkdn.kemenperin.go.id. Dalam portal tersebut sudah menginformasikan tentang nama perusahaan, nomor sertifikat TKDN, nilai TKDN, nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP), jenis produk, merek, dan tipe.
III. GAMBARAN UMUM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua Atas Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Perpres 16/2018 Jo. Perpres 46/2025), dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa "Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Perangkat Daerah/lnstitusi Lainnya/Pemerintah Desa yang dibiayai oleh APBN/APBD/APB Desa yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan". Berangkat dari definisi tersebut, salah satu titik kritis pengadaan barang/jasa pemerintah (selanjutnya disingkat PBJP) adalah identifikasi kebutuhan. Artinya, pemerintah dalam melaksanakan PBJP harus memahami secara komprehensif tentang kebutuhan untuk mendukung tugas dan fungsi organisasinya. Misalnya, salah satu OPD dalam Pemerintah Provinsi ABC berdasarkan analisis kebutuhan diperlukan perangkat laptop untuk mendukung kinerja pegawainya. Tentunya harus diidentifikasi lebih lanjut terkait laptop yang sinkron dan/atau bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Beri contoh saja, diawali dengan apa yang mau dipenuhi? Kalau misalnya hanya untuk kebutuhan penggunaan administrasi saja tanpa ada perlu desain multimedia yang membutuhkan spesifikasi laptop yang khusus, tentunya cukup dengan pengadaan laptop yang sederhana untuk penggunaan kebutuhan administrasi.
Setelah mengetahui definisi PBJP, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara untuk mendapatkan barang/jasa tersebut?. Dalam PBJP ada 2 (dua) cara yaitu melalui swakelola dan melalui penyedia.
- Melalui Swakelola yaitu cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah, Kementerian/ Lembaga/ Perangkat Daerah lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat;
- Melalui Penyedia yaitu cara memperoleh barang/jasa yang disediakan oleh Pelaku Usaha;
Untuk melaksanakan PBJP melalui swakelola atau penyedia tersebut, pihak-pihak yang terlibat disebut dengan Pelaku Pengadaan, yang terdiri dari :
- Pengguna Anggaran (PA)
- Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
- Pejabat Pengadaan (PP)
- Pokja Pemilihan
- Agen Pengadaan
- Penyelenggara Swakelola
- Penyedia
Masing-masing pelaku pengadaan tersebut memiliki tugas dan kewenangan yang diatur dalam Perpres 16/2018 Jo. Perpres 46/2025 beserta aturan teknis turunannya. Jika mau ditulis pada tulisan saat ini, mungkin terlalu panjang bagaikan perjalanan panjang rakyat Indonesia menunggu Timnas lolos ke Piala Dunia Sepakbola. Substansinya, para pelaku pengadaan menjalankan tugas dan kewenangannya dengan tetap memperhatikan etika, kebijakan dan tujuan pengadaan.
IV. IMPLEMENTASI PENGGUNAAN TKDN DALAM PBJP
Setelah mengetahui secara umum tentang TKDN dan PBJP, maka selanjutnya perlu kita tahu bagaimanakah implementasi penggunaan TKDN dalam PBJP?.
Dalam aturan PBJP mengamanatkan bahwa salah satu tujuan PBJ adalah meningkatkan penggunaan PDN. Untuk mencapai tujuan tersebut, diformulasikanlah kebijakan dalam PBJ yaitu mendorong penggunaan barang/jasa dalam negeri dan Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam Perpres 16/2018 jo. Perpres 46/2025 pada pasal 66 ayat (1) menyatakan bahwa "Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah/Institusi Lainnya wajib menggunakan Produk Dalam Negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional". Hal ini menegaskan adanya norma wajib yang harus dipatuhi dalam PBJ berupa prioritaskan penggunaan PDN.
Mengacu pada Perpres 16/2018 jo. Perpres 46/2025, sudah diatur penggunaan PDN melalui pemanfaatan barang yang memiliki TKDN. Secara ringkas saya simpulkan konfigurasi penggunaan TKDN dalam PBJP dalam tabel berikut
Dalam membaca penggunaan TKDN pada PBJP sebagaimana tabel diatas, perlu memperhatikan bahwa tabel tersebut harus dibaca secara hierarki. Artinya prioritas diawali dengan opsi 1, apabila dalam identifikasi produk tersebut tidak tersedia atau tidak mencukupi kebutuhan, maka dilanjutkan pada opsi - opsi yang berikutnya secara berurutan.
Pertanyaan berikutnya adalah, kapan menentukan opsi-opsi tersebut dalam proses PBJP?. Kewajiban untuk menentukan opsi penggunaan PDN yang ber-TKDN tersebut, dilakukan pada tahap perencanaan pengadaan, persiapan pengadaan, dan pemilihan Penyedia. Sehingga pelaku pengadaan (PA/KPA, PPK, PP, maupun Pokja Pemilihan) sesuai tugas dan kewenangannya harus memperhatikan pemanfaatan PDN dengan mempedomani opsi besaran TKDN sebagaimana ketentuan. Lagipula dalam UU 3/2014 telah mengamanatkan bahwa kewajiban penggunaan PDN dalam PBJP, yang apabila pejabat pengadaan (diterjemahkan pelaku pengadaan sesuai terminologi aturan PBJP) tidak menggunakan PDN dalam PBJP padahal ada PDN yang tersedia, maka diberikan sanksi sebagaimana diatur melalui PP 29/2018 yang dilakukan berdasarkan surat rekomendasi dari APIP serta pengawas internal dan Tim P3DN, dengan penjelasan sebagai berikut :
- Sanksi peringatan tertulis dikenakan terhadap pelanggaran pertama sampai dengan pelanggaran ketiga yang dilakukan.
- Sanksi denda administratif dikenakan terhadap pelanggaran keempat yang dilakukan. Dengan denda sebesar 1% dari nilai kontrak PBJ dengan nilai paling tinggi Rp. 500.000.000.
- Sanksi pemberhentian dari jabatan PBJ dikenakan terhadap pelanggaran kelima yang dilakukan.
V. SIMULASI SEDERHANA PENGGUNAAN TKDN DALAM PBJP
Untuk mengetahui praktek pemanfaatan PDN dengan pemilihan opsi-opsi sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, saya mencoba membuat simulasi sederhananya dalam tahapan perencanaan pengadaan sebagai berikut.
Pada tahapan perencanaan pengadaan, PA/KPA dibantu PPK dalam menyusun spesifikasi teknis barang yang dibutuhkan. Kita beri contoh saja, misalnya sebuah OPD pada Pemda Provinsi Maluku Utara membutuhkan laptop untuk meningkatkan kinerja OPD tersebut. Tentunya, dalam mengidentifikasi kebutuhan terhadap laptop tersebut, perlu untuk memperhatikan penggunaan PDN. Ringkasnya, asumsi beberapa informasi dalam penyusunan spesifikasi teknis laptop tersebut sebagai berikut :
Processor : Minimal Intel Core i3
Storage : Minimal 512 GB
RAM : Minimal 8 GB
Resolusi Layar : 1920 x 1080
Ukuran Layar : Minimal 12 Inch - 14 Inch
Operating System : Windows 11 Home
Kuantitas : 5 Unit
Pagu Anggaran : Rp. 12.000.000/unit sehingga total untuk 5 unit adalah Rp. 60.000.000
Spesifikasi teknis pengadaan laptop tentunya perlu informasi secara lengkap dan detail. Namun untuk pemahaman sederhana, spesifikasi laptop secara umum kurang lebih menginformasikan hal-hal tersebut. Mungkin pembahasan terkait penyusunan spesifikasi teknis dalam PBJP akan dibahas pada kesempatan berikut. Berdasarkan informasi awal tersebut, PPK kemudian mengidentifikasi laptop yang tersedia di pasaran yang merupakan PDN dan ber-TKDN. Cara identifikasi dapat dilakukan melalui portal tkdn.kemenperin.go.id, maupun bisa memanfaatkan informasi pada katalog LKPP Versi 6 untuk mengetahui besaran TKDN maupun BMPnya. Namun di era Artificial Intelligence (AI), kita dapat gunakan ChatGPT sebagai jalan ninja dalam menemukan jawaban yang lebih cepat. Contohnya saya menggunakan perintah dalam ChatGPT "carikan referensi laptop yang memiliki processor core i3 dengan storage 512 GB memiliki TKDN". Kemudian didapatkan jawaban yang beragam, namun setidaknya ini sebagai informasi awal. Hasilnya bisa saja menunjukan beberapa merek dan tipe laptop yang bisa menjadi referensi dalam penyusunan spesifikasi teknis, khususnya pada besaran nilai TKDN.
Selain melalui ChatGPT, untuk mendapatkan informasi nilai TKDN, kita bisa langsung survey melalui portal Katalog LKPP Versi 6 melalui portal https://katalog.inaproc.id/. Pada praktiknya, dalam portal kalatog tersebut, anda dapat memberikan kata kunci pada kolom pencariannya. Misalnya "Laptop Core i3" dan pada kolom TKDN + BMP ditulis minimum "40", kemudian akan muncul produk laptop sesuai pencarian tersebut. Berikut contoh hasil pencarian dalam katalog
Dari hasil tersebut ditemukan bahwa banyak Laptop yang mampu memenuhi kebutuhan OPD dengan nilai TKDN + BMP sama dengan dan/atau lebih besar dari 40%. Langkah kemudian adalah PPK mengidentifikasi lebih lanjut dengan kesesuaian karakteristik laptop yang lain misalnya, Storage, RAM, OS, dan lain-lain. Tak kalah pentingnya juga adalah memperhatikan harga satuan agar tidak melebihi pagu yang tersedia atau direncanakan.
Setelah mengetahui, banyak produk laptop yang memiliki nilai TKDN+BMP ≥ 40%, maka PPK menambahkan informasi dalam menyusun spesifikasi teknis, misalnya "Laptop adalah PDN dengan nilai TKDN + BMP ≥ 40%". Hal ini menjadi penting untuk dituangkan, karena pada saat memilih penyedia, konfigurasi laptop sudah mendukung penggunaan PDN sesuai dengan opsi-opsi dalam memilih dan menggunakan TKDN sebagaimana amanat Perpres 16/2018 jo.Perpres 46/2025. Setelah PPK merasa bahwa spesifikasi teknis sudah disusun sesuai kaidahnya, termasuk dengan penggunaan TKDN, maka spesifikasi teknis tersebut ditetapkan sebagai salah satu dokumen persiapan pengadaan.
Mungkin simulasi singkat yang sangat sederhana ini bisa sedikit menjadi pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan TKDN dalam PBJP. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh PA/KPA dan PPK dalam perencanaan pengadaan kaitanya dengan penentuan pemanfaatan PDN adalah :
- Mengidentifikasi kebutuhan.
- Memiliki kemampuan tentang karakteristik barang/jasa yang akan dilakukan pengadaan. Apabila tidak memiliki kemampuan tersebut, dapat menggunakan pihak lain, misalnya Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa atau ahli pada bidangnya.
- Khususnya dalam penyusunan spesifikasi teknis, agar lebih memperkuat survey atau pendalaman data informasi resmi berkaitan dengan PDN serta nilai TKDN+BMP melalui berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Berupaya untuk memilih opsi dalam memanfaatkan TKDN berdasarkan hierarki opsi secara berurutan.
- Sepanjang proses, penting untuk mendokumentasikan semua referensi dan survei produk sebagai bukti pertanggungjawaban ketika diaudit, dapat berbentuk dalam kertas kerja.
VI. PENUTUP
Ketika sebuah kebijakan diukur bukan hanya dari harga yang tertera, tetapi dari akar-akar yang tumbuh dalam negeri, maka TKDN bukan sekadar angka dalam dokumen, melainkan pengakuan terhadap keberadaan lokal yang bernilai. TKDN adalah janji bahwa setiap rupiah yang digunakan bukan hanya membeli barang atau jasa, tapi juga membeli peradaban, membahagiakan kampung, menyelamatkan mata pencaharian, dan memberi ruang kepada tangan-tangan lokal untuk bergerak dengan bangga. Di balik setiap komponen yang diproduksi dalam negeri, ada kisah seorang pekerja yang merancang, seorang ibu yang menjahit, seorang teknisi yang menempa besi, mereka bukan hanya "input", mereka adalah jantung dari pembangunan yang layak.
Namun, di tengah perjalanan ini, tumbuh sebuah luka yang sering diabaikan yaitu ketidakpercayaan masyarakat terhadap kualitas produksi dalam negeri. Ketidakpercayaan yang sebenarnya bukanlah tentang kualitas, melainkan tentang kenangan yang masih mengigau bahwa "dalam negeri = jelek", "lokal = buruk", "impor = keren". Padahal, kesalahan itu justru terletak pada pola pikir yang terbiasa menilai dari luar, tanpa mengakui proses yang telah ditumbuhkan dalam. Kita menghakimi hasil akhir, tanpa menghargai jerih payah yang menyusunnya, seperti ujian teknologi, pemantapan standar, pengalaman jatuh bangun dalam inovasi, dan tekad yang tak pernah surut.
Ketika kita meragukan produk lokal, kita sebenarnya meragukan diri kita sendiri, meragukan kemampuan bangsa untuk mencipta, menguji, dan tumbuh. Pembangunan yang berkelanjutan bukan tentang memilih antara lokal dan global, tapi tentang membangun kepercayaan. Karena sebuah negara yang percaya pada dirinya sendiri, bukan yang paling sempurna melainkan yang paling berani mencoba, belajar, dan berkembang dari kesalahan.
Maka, memilih produk dalam negeri dalam pengadaan pemerintah bukan sekadar kebijakan. Ia adalah tindakan pemulihan hati, sebuah perlawanan terhadap kebiasaan meragukan, dan langkah pertama menuju kebanggaan yang berakar dalam kualitas, tidak dalam kepatuhan. Setiap kali pemerintah memilih TKDN, bukan hanya membeli barang, namun membangun kepercayaan. Dan kepercayaan, sesungguhnya, adalah fondasi terkuat dari kualitas sejati.
Kualitas bukan hanya ada dalam standar teknis, ia juga ada dalam keyakinan bahwa di negeri ini, karya yang dibuat dengan tangan dan hati, bisa berdiri sejajar dengan dunia. Karena pada akhirnya, keunggulan nyata bukan tentang seberapa jauh sebuah produk dikirim, melainkan seberapa dalam kandungan nasionalnya dalam setiap karya.
"Bangsa yang percaya pada dirinya sendiri, bukan karena tidak pernah gagal, tapi karena terus bangkit, bahkan saat dunia masih ragu"
Komentar
Posting Komentar