Jumat, 11 Januari 2019

Penetapan PPK Oleh PA dalam Pengelolaan APBD




Terdapat perbedaan definisi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) antara Perpres 54/2010 beserta perubahannya dengan Perpres 16/2018. Perbedaan sebagai berikut :

Perpres 54/2010
Perpres 16/2018
PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah

Dari definisi tersebut terlihat adanya perbedaan yang cukup signifikan terkait PPK. Perpres 54/2010 menitikberatkan bahwa PPK merupakan pejabat yang bertanggung jawab terhadap PBJ, sedangkan Perpres 16/2018 menjelaskan bahwa PPK melaksanakan tindakan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh PA/KPA. Terkait dengan maksud “kewenangan” PA/KPA, dapat kita melihat penjelasan Pak Samsul Ramli (http://samsulramli.net/2018/12/23/distribusi-kewenangan-pa-kpa-dan-ppk-bagian-1/).

Dalam pelaksanaan PBJ pada APBD di daerah, salah satu tugas PA adalah menetapkan PPK. Pada Peraturan LKPP nomor 15 tahun 2018, menyatakan bahwa PPK yang ditetapkan harus memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. memiliki integritas dan disiplin;
  2. menandatangani Pakta Integritas;
  3. memiliki Sertifikat Kompetensi sesuai dengan bidang tugas PPK. Jika tidak dapat terpenuhi, Sertifikat Keahlian Tingkat Dasar dapat digunakan sampai dengan 31 Desember 2023;
  4. berpendidikan paling rendah Sarjana Strata Satu (S1) atau setara. Jika tidak dapat terpenuhi, persyaratan Sarjana Strata Satu (S1) dapat diganti dengan paling rendah golongan III/a atau disetarakan dengan golongan III/a.
  5. memiliki kemampuan manajerial level 3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. dapat memiliki latar belakang keilmuan dan pengalaman yang sesuai dengan tuntutan teknis pekerjaan
Untuk point 1, 2, 3, 4, dan 6 sudah sangat jelas, namun untuk pada point 5 “ memiliki kemampuan manajerial level 3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” di daerah sering terjadi beberapa multi penafsiran.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa “Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan untuk memimpin dan/atau mengelola unit organisasi”. Pada PP 11/2017 tersebut juga menyatakan bahwa “Kompetensi Manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan”. Dalam Permenpan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa Tingkat penguasaan kecakapan kompetensi ditunjukkan dengan indikator perilaku dari level 1 sampai dengan level 5. Untuk level 3 memiliki kriteria sebagai berikut :
  1. mengindikasikan kemampuan melakukan tugas teknis yang lebih spesifik dengan menganalisis informasi secara terbatas dan pilihan metode untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam tugasnya;
  2. mengindikasikan pemahaman tentang prinsip-prinsip teori dan praktek tanpa bantuan dan/atau pengawasan langsung, dengan kecepatan yang tepat penyelesaian pekerjaan yang lebih cepat;
  3. mengindikasikan kepercayaan diri dan kemampuan dan menunjukkan kelancaran dan ketangkasan dalam praktek pelaksanaan pekerjaan teknis;
  4. mengindikasikan penguasan pengetahuan dan keterampilan yang memerlukan pelatihan tingkat menengah; dan
  5. mengindikasikan kemampuan bertanggungjawab atas pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggungjawab atas pekerjaan kelompok/tim;  
Didalam Permenpan 38/2017 pada bagian lampirannya menjelaskan bahwa kompetensi manajerial level 3 adalah pada jabatan administrator, jabatan fungsional muda dan jabatan fungsional penyelia.
Dengan penjelasan – penjelasan tersebut, menurut saya persyaratan PPK terkait dengan kemampuan manajerial level 3 adalah ASN yang menduduki salah satunya pada jabatan administrator (Esellon III).


Kapan ditetapkan PPK?

PA dalam menetapkan PPK harus mengacu pada persyaratan sesuai dengan yang telah dijelaskan diatas. Apabila tidak ada yang memenuhi syarat sebagai PPK, maka KPA dapat merangkap sebagai PPK. Untuk mengetahui tentang KPA yang merangkap sebagai PPK silahkan dibaca penjelasan Pak Samsul Ramli (http://samsulramli.net/2019/01/10/faq-kpa-merangkap-ppk/).  
Salah satu tugas PPK adalah menyusun perencanaan pengadaan. Pada Peraturan LKPP 7/2018 menyatakan bahwa “Perencanaan Pengadaan adalah proses perumusan kegiatan yang dimulai dari identifikasi kebutuhan, penetapan barang/jasa, cara Pengadaan Barang/Jasa, jadwal Pengadaan Barang/Jasa, anggaran Pengadaan Barang/Jasa”. Didalam Peraturan LKPP tersebut juga mengisyaratkan bahwa “Perencanaan Pengadaan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan bersamaan dengan proses penyusunan RKA Perangkat Daerah setelah nota kesepakatan Kebijakan Umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS)”.

Pada Permendagri 13/2006 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permendagri 21/2011, mengamanatkan bahwa Surat Edaran Kepala Daerah perihal pedoman penyusunan RKA-SKPD diterbitkan paling awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan. Jika dikaitkan dengan Per LKPP 7/2018 dengan Permendagri 13/2006 beserta perubahannya, maka idealnya PA dapat menetapkan PPK paling cepat pada bulan Agustus tahun anggaran berjalan. Namun faktanya, keterlambatan pembahasan APBD selalu menjadi fenomena yang berulang setiap tahun pada pemerintah daerah. Jika pembahasan maupun penyusunan APBD berjalan sesuai dengan schedule yang diatur dalam Permendagri 13/2016 beserta perubahannya, maka perencanaan pengadaan sudah dapat dilakukan sehingga akan melahirkan perencanaan yang berkualitas serta hal ini bisa menjadi upaya dalam mitigasi resiko hukum pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.


Semoga pendapat pribadi ini dapat dijadikan bahan diskusi untuk menambah pengetahuan kita tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah